Simone de Beauvoir dalam bukunya Second Sex (2003: XXV) menuliskan bahwa perempuan dianggap sebagai jenis kelamin kedua atau makhluk sekunder. Dengan kata lain bahwa perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki. Dengan adanya anggapan ini maka munculah konstruk di masyarakat bahwa perempuan hanyalah makhluk yang lemah, oleh karena itu perempuan dianggap tak mampu untuk menyelesaikan masalah di ranah publik. Dengan adanya anggapan itu maka ada kecenderungan penguasaan dari pihak yang dianggap kuat terhadap pihak yang dianggap lemah. Pihak yang dianggap kuat disini adalah laki-laki dan pihak yang dianggap lemah disisni adalah perempuan. Maka ada budaya dimasyarakat kita bahwa ada penguasaan laki-laki terhadap perempuan, sehingga ada kecenderungan bahwa perempuan adalah manusia yang tertindas. Penindasan disini terjadi pada beberapa aspek, seperti rentannya perempuan mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan ada kecenderungan bahwa perempuan harus diarahkan agar mampu bersaing untuk bisa memasuki prinsip-prinsip maskulinitas.
Istilah penguasaan pihak yang dianggap kuat terhadap pihak yang dianggap lemah bisa diartikan sebagai hegemoni. Namun hegemoni sendiri memiliki pengertian yang luas, dilihat dari mana pengertian hegemoni tersebut diambil. Menurut Eagleton mengutip dari buku Bagus Takwim yang berjudul akar-akar ideologi (2009:73) hegemoni adalah pemenangan pemikiran kelas yang berkuasa lewat penguasaan basis-basis pikiran (kognitif), kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial kedalam pola kerangka pikiran yang ditentukan lewat birokrasi.
Jika disandingkan dengan hegemoni maskulinitas, maka bisa di tarik kesimpulan bahwa maskulinitas sudah menjadi penguasa (hegemoni) dalam masyarakat. Dalam konstruksi masyarakat tentu pemikiran maskulinitas yang mendominasi. Terlebih lagi dewasa ini perempuan cenderung mempunyai batasan dalam menyampaikan pendapat, sehingga perannya diranah publik pun terbatasi.
Sementara itu membicarakan tentang arah gerakan feminisme yang notabene terlahir karena adanya ketidakadilan yang dialami oleh perempuan. Meskipun diawal kelahiran feminis adanya perbedaan dari permasalahan yang dialami oleh kaum perempuan, sebagai contoh permasalahan ketidakadilan di Amerika berbeda dengan permasalahan ketidakadilan yang terjadi di Eropa namun esensi dari kelahiran feminis itu sama yaitu menuntut persamaan dan keadilan bagi perempuan. Seiring dengan perkembangan zaman gerakan feminis mengalami kemajuan, bahkan pada saat ini PBB sudah mengeluarkan resolusi untuk menghentikan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, dampaknya adalah terbentuknya perundang-undangan anti diskriminasi di hampir setiap negara yang tentu saja hal ini adalah menguntungkan bagi perempuan itu sendiri.
Maka dari itu perlu adanya kesadaran seperti apa yang pernah diilustrasikan oleh Paulo Freire yaitu kaum perempuan sebagai bagian dari kaum yang tertindas perlu memiliki kesadaran kritis yakni gerakan feminis selayaknya tidak berhenti pada langkah pertama, seperti memperjuangkan hal-hal yang bersifat jangka pendek (war of maneuver). Namun gerakan feminis pun perlu melanjutkan perjuangan ideologis dan kulturalnya dengan melakukan identifikasi sehingga dapat menemukan watak ideologi maskulinitas dan membongkarnya (Fakih, 2010: 110).
Penulis : Hamidah
Daftar Pustaka
- Bagus Takwim, 2009, Akar-akar Ideologi, Yogyakarta: Jalasutra
- Mansour Fakih, 2010, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
- Simone de Beauvoir, 2003, Second Sex: Kehidupan Perempuan, Pustaka Promethea
Sumber: WSC