Indonesia Darurat Kekerasan Seksual: Di Mana Pemerintah?

Hari demi hari kita lalui dengan kabar-kabar yang selalu menusuk hati, di mana berita kekerasan seksual baik terhadap perempuan dewasa, atau anak-anak (perempuan dan laki-laki), serta berita tentang kekerasan fisik hingga menimbulkan korban jiwa, seperti sudah menjadi peristiwa rutin yang biasa-biasa saja.  Padahal sebagai manusia yang sudah menapaki abad di mana peradaban sudah sangat maju, seharusnya kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi khususnya di Indonesia menjadi keprihatinan nasional sehingga bisa menggalang langkah nyata untuk menghentikannya. Tapi, itu hanya ilusi penulis sebagai orang yang terlalu banyak berharap di negeri yang masih menjadikan patriarki sebagai ideologinya.
Kekerasan Seksual dan Sumbangan Media yang Bias
Banyak hal positif yang bisa disosialisasikan oleh dukungan media, tetapi bila penulis berita berita dan lembaganya masih belum terpapar isu gender dan hak-hak perempuan, maka output pada pemberitaan kekerasan seksual, media bukannya mengeksplorasi pelaku dan mendorong aparat untuk menegakan hukum, justru sebaliknya membentangkan sedetail-detailnya korban di muka publik, serta menggunakan pilihan bahasa yang bias. Akibatnya, pemberitaan kasus kekerasan seksual seharusnya menjadi kasus yang sangat biadab di mata publik, tetapi karena media menggunakan pilihan bahasa yang bias, kasus tersebut menjadi biasa-biasa saja, bahkan sangat mungkin perbuatan biadab tersebut dianggap sebagai ajang untuk pembuktian maskulinitas (kelelakian) seseorang.
Pada banyak berita yang membahas kekerasan seksual, istilah yang mereka gunakan antara lain: menggagahi, digilir, ditunggangi, menaruh saham, dan bahasa-bahasa lain yang diperhalus atau disamarkan sehingga kesan sebagai perbuatan biadab menjadi tereduksi bahkan hilang. Media seharusnya memikirkan dampak berita yang mereka terbitkan selain manyalurkan informasi juga memberikan pembelajaran kepada masyarakat, bukannya justru menyamarkan kebiadaban perbuatan pelaku dan melanggengkan kekerasan terhadap korban. Pelanggengan kekerasan terhadap korban yang penulis maksud, pada sebagian berita selain tidak menutupi identitas korban, juga dengan menuliskan perbuatan pelaku dengan istilah yang jauh dari kata biadab sebagaimana di atas. Alasannya, sebagian besar masyarakat Indonesia dibentuk dengan pola asuh yang patriarki, di mana salah satu sikap patriarki adalah menganggap “wajar” dan “memaklumi” atas perilaku laki-laki yang terkadang merugikan orang lain, terutama bila korbannya adalah perempuan.
Pemerintah yang Alpa
Hirup pikuk perebutan kekuasaan adalah dunianya laki-laki, dunia yang sangat maskulin. Tetapi tepatkah menganggap persoalan kekuasaan jauh lebih penting ketimbang persoalan kekerasan seksual yang sudah akut? Padahal menurut Komnas Perempuan, setiap 2 jam ada 3 orang perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia! Tetapi apa langkah nyata yang sudah mereka lakukan sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan Negara? Yang ada justru beberapa pemimpin publik dan pihak Kementerian Pendidikan acapkali mengeluarkan statemen yang justru menyalahkan korban, bukannya pelaku. Selain itu, desakan untuk segera memasukan pendidikan seksualitas sejak dini ke dalam pendidikan formil, tidak mendapatkan tanggapan dari stakeholder terkait, padahal kekerasan seksual selain menimpa korban dewasa, juga menimpa anak-anak usia sekolah.
Tidak Cukup Hanya Prihatin
Atas maraknya kasus kekerasan seksual, yang dibutuhkan selain penindakan terhadap pelaku adalah langkah pencegahan menjadi hal yang tidak kalah penting agar tidak ada lagi korban-korban berjatuhan.  Karenanya tidak cukup bila seseorang yang memiliki kewenangan hanya menyatakan prihatin atas setiap tragedi yang terjadi di negeri ini.
Para pemangku kebijakan merupakan sosok starategis yang semestinya bisa memaksimalkan mandatnya untuk menekan angka kekerasan seksual melalui kebijakan-kebijakannya yang tentunya pro dan ramah terhadap perempuan dan anak, bukan kebijakan yang redaksinya melindungi perempuan dan anak-anak dari para predator, tetapi justru pemikiran dan output kebijakan tersebut semakin merugikan dan menyudutkan perempuan dan anak-anak. Karenanya, desakan diberlakukannya pendidikan seksualitas sejak dini pada lembaga formil menjadi salah satu alternatif untuk melakukan pencegahan kejahatan seksual, terutama terhadap anak-anak.
Namun bila melihat minimnya reaksi para pemangku kebijakan terhadap jumlah kekerasan seksual yang sangat memprihatinkan di Indonesia, kita seperti hidup di Negara tanpa pemerintahan, semuanya berjalan sendiri-sendiri (auto pilot). Bila demikian, mungkinkah kita bisa menyimpulkan bahwa konsentrasi pada kekuasaan dan tarik menarik kepentingan politik di antara mereka dianggap jauh lebih penting ketimbang persoalan kekerasan seksual? Bila benar, sudah seharusnya rakyat selaku pemberi mandat bereaksi keras atas ketidakhadiran para pemangku kebijakan dalam kasus kekerasan seksual.
Ya, lagi-lagi masyarakat harus mencari solusi dan akar persoalan sendiri, karena berharap pada penguasa yang tengah sibuk dengan kue kekuasaannya benar-benar membuang waktu dan energi. Itulah mengapa saat ini kita menyaksikan ada sekumpulan anak-anak muda berkeliling kota di Indonesia mengkampanyekan tentang “sister in danger”, atau dibentuknya jaringan masyarakat sipil yang membahas dan menyusun langkah-langkah strategis dalam menyikapi persoalan kekerasan seksual, dibuatnya petisi online, dan sejumlah kegiatan yang menyikapi persoalan kekerasan seksual. Walau efek kegiatan semacam itu tidak mampu menjangkau seluruh masyarakat di Indonesia, tetapi setidaknya ada aksi nyata yang dilakukan masyarakat sipil dalam memerangi kekerasan seksual.

About Wawan Suwandi

Kordinator Aliansi laki-laki Baru wilayah Jakarta

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *