Kegagalan Melihat Akar Masalah Kekerasan Seksual

Untuk yang kesekian kalinya nurani kita menjerit ketika tragedi kekerasan seksual yang disertai pembunuhan menimpa Yuyun (14), dimana kebiadaban tersebut dilakukan oleh 14 orang laki-laki, di Rejang Lebong, Bengkulu.
Sebagaimana diketahui, kasus kekerasan seksual di Indonesia bukanlah yang pertama kali, dimana sebelumnya sempat marak kasus kekerasan seksual juga terjadi di angkutan umum, dan tempat-tempat lainnya. Tapi apa lacur, untuk yang kesekiankalinya juga hampir setiap terjadi kasus-kasus kekerasan seksual justru korban yang disalahkan. Hal itu (menyalahkan korban) pernah dilakukan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, yang menyalahkan cara berpakaian korban. Calon Hakim Agung, Daming Sanusi, juga menyatakan bahwa yang diperkosa dan memperkosa sama-sama merasakan nikmat. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M. Nuh, menyatakan bahwa, kadang ada yang sengaja, sama-sama senang, mengaku diperkosa. Dan pada kasus yang terbaru, Saleh P. Daulay, anggota DPRRI, sebagaimana dimuat pada rimanews.com, menyatakan “Kemungkinan yang paling salah adalah ketika korban berjalan sendirian di pinggir kebun yang sangat sepi dan membuka ruang bagi para pelaku untuk berbuat jahat”.

Wujud Ide Solusi Hasil dari Ideologi Patriarki

Penguasaan atas ranah publik bukan saja dikuasai oleh laki-laki secara fisik, tetapi juga meliputi ide, sIstem yang terbangun, hingga tawaran dan putusan solusi penuh cita rasa laki-laki. Karenanya dengan mudah dapat dijumpai tawaran ide untuk mengantisipasi dan menghukum pelaku kekerasan seksual justru sangat jauh dari akar masalah, antara lain:
a. Miras Sebagai Penyebab dan Undang-undang Pelarangan Miras sebagai Jawaban
Menjawab persoalan maraknya kekerasan seksual dengan menyimpulkan bahwa kekerasan seksual terjadi karena minuman keras, dan menganggap solusinya adalah dengan menerbitkan Undang-undang (UU) yang melarang minuman keras (Miras). Pemikiran tersebut sama saja mengingakari fakta yang ada di mana pelaku kekerasan seksual ketika melakukan aksinya banyak yang tidak dibawah pengaruh minuman keras.
Lalu mengapa kesimpulan dan ide itu bisa lahir bahkan dari mereka yang bekerja di lembaga yang semestinya memahami akar masalah kekerasan seksual? Itu tidak lepas dari konstruksi patriarki yang membentuk kita sedari kecil hingga saat ini. Tapi bukankah orang dibawah pengaruh miras bisa berbuat di luar kendali? Secara medis itu dibenarkan, tetapi fokus dan solusi semestinya bukan hanya pada miras, karena yang paling berperan adalah konstruksi budaya patriarki yang mendudukan laki-laki sebagai manusia nomor satu, sehingga ia menguasai jalanan (ranah publik), dianggap wajar bila menenggak minuman keras, dianggap wajar bila menggoda dan menyakiti perempuan. Sementara sebaliknya, budaya patriarki justru membentuk perempuan menjadi manusia kelas dua, liyan, dan bila keluar rumah sendirian dianggap bukan perempuan baik-baik dan dianggap sebagai pemicu laki-laki menggodanya.
Konstruksi patriarki atau budaya yang mengedepankan kepentingan laki-laki dan mendiskriminasi perempuan, telah membentuk ideologi tersendiri pada ide dan perilaku laki-laki yang masih belum menyadari akan bahaya budaya patriarki bagi kaum perempuan. Salah satu bahaya yang kerap muncul akibat budaya patriarki ialah laki-laki merasa pantas dan wajar menggoda hingga menyerang perempuan. Itu terjadi karena ideologi patriarki men-setup alam bawah sadar laki-laki untuk meyakini dan berperilaku sebagai penguasa jalanan (ranah publik), jagoan, tidak kenal rasa takut, yang kesemuanya diimplementasikan dengan cara menstigma perempuan yang keluar rumah sendirian, lalu diiringi dengan perilaku menggodanya hingga menyerang. Selain itu rokok, miras, bahkan obat-obatan terlarang, bagi laki-laki yang mendijadikan ketiganya sebagai standar untuk mengukur kemachoan laki-laki, akan menjadi sajian bila mereka tengah berkumpul.
b. Hukum Kebiri
Memberi jawaban hukum kebiri bagi pelaku kekerasan seksual, sama saja menyimpulkan bahwa kekerasan seksual hanya dilakukan dengan menggunakan kelamin saja. Selain itu ada asumsi bila pelaku dikebiri, selain untuk efek jera, juga untuk mengantisipasi pelaku melakukan perbuatannya di kemudian hari. Padahal kepuasan seksual bisa didapat dari aktifitas yang selain menggunakan kelamin.
Lalu mengapa ide kebiri bisa hadir? Hal itu muncul selain karena menganggap persoalan seksualitas sangat sederhana, yakni hanya sebatas penetrasi penis, juga bisa menjadi bumerang bagi korban kekerasan yang ingin menuntut keadilan. Kalau kekerasan seksual hanya disimpulkan bila ada penetrasi penis, maka korban kekerasan seksual yang dilecehkan dengan cara diraba atau dengan cara lainnya akan dianggap bukan sebagai kekerasan seksual.
Ide kebiri selain menyederhanakan masalah, juga karena penis dianggap sebagai simbol keperkasaan dan eksistensi laki-laki sejati. Karenanya mengapa Viagra (obat kuat laki-laki), jasa membesarkan ukuran penis dan jasa menyembuhkan impotensi banyak diminati. Dengan kata lain ideologi patriarki telah mempengaruhi alam bawah sadar atas lahirnya ide kebiri yang meyakini, bahwa, untuk membuat laki-laki terpuruk adalah dengan merampas simbol keperkasaannya, yakni dengan cara kebiri.

Yuyun dan Momen Interpretasi Ulang Ideologi Patriarki

Akibat dari pelanggengan ideologi patriarki maka dikemudian hari apa yang menimpa Yuyun dan korban-korban kekerasan seksual lainnya akan terus bermunculan. Hal itu terjadi karena bila selama laki-laki masih menganggap dirinya lebih mulia, lebih berkuasa, dan lebih kuat dari perempuan, maka penindasan berbasis gender akan terus terjadi. Karena itu sudah saatnya mengkaji dampak buruk ideologi patriarki terhadap perempuan. Hal itu penting dilakukan karena manusia adalah makhluk yang dinamis dan beradab, dimana wujud dari kedimanisan serta keberadaban manusia dapat diimplementasikan dengan membongkar konstruksi budaya patriarki pada diri sendiri dan masyarakat, lalu menerapkan nilai citra baru laki-laki yang lebih humanis, menjunjung keadilan, setara, beradab, dan tidak melakukan hal-hal yang merugikan perempuan.

Mendidik Laki-laki untuk Menghormati Perempuan

Memberikan pemahaman dan pembiasaan melalui praktek sehari-hari dapat dimulai dari lingkungan keluarga tentang bagaimana semestinya relasi yang baik dan benar bagi seorang laki-laki terhadap perempuan, termasuk didalamnya ialah pemahaman untuk tidak melakukan kekerasan seksual. Pola asuh dalam keluarga agar anak laki-laki menghormati perempuan, akan menjadi basis bagi anak laki-laki ketika ia mulai berbaur dalam kehidupan sosial yang lebih luas. Karenanya akan semakin efektif bila lembaga pendidikan, baik formil dan non formil juga turut memberikan pemahaman tentang bagaimana menjadi laki-laki yang menghormati perempuan dan tidak melakukan kekerasan seksual. Efektifitas akan kian terasa manakala dalam dunia kerja juga menerapkan persaingan karir berdasarkan kompentensi, bukan jenis kelamin, dan penarapan peraturan ketat terkait larangan perilaku yang merendahkan dan melecehkan perempuan.
Mengharapkan adanya peran dunia pendidikan dan jangkauan yang lebih luas lagi dalam menekan kekerasan seksual, tentunya harus ada peran Negara dalam hal ini pemerintah. Selain mengintervensi dunia pendidikan, pemerintah juga harus mengintervensi pejabat dan aparat penegak hukum agar terbebas dari bias ketika terjadi dan tengah menangani kasus-kasus kekerasan seksual.

Sanksi Sosial

Nur Iman Subono, dalam Jurnal Perempuan 64, menyatakan perlu ada keterlibatan masyarakat terutama laki-laki agar tidak menjadi mayoritas yang diam dalam menyikapi persoalan ketidakadilan berbasis gender, terutama pada kekerasan seksual yang selalu berulang. Sebagaimana kutipan Nur Iman Subono pada tesisnya Kaufman, kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan laki-laki selalu berulang karena masyarakat menganggap hal itu sebagai sesuatu yang wajar (permisif). Hal demikian terjadi (dianggap wajar) adalah bagian dari hak istimewa menjadi laki-laki, dan itu (hak istimewa) merupakan hasil dari konstruksi budaya patriarki.
Untuk itu sebagai manusia yang memiliki empati, rasional, dan rasa tanggung jawab, sudah semestinya menerapkan sanksi sosial kepada pelaku dan menjadikan itu sebagai “belenggu” bagi pelaku atas apa yang ia perbuat. Jenis sanski sosial yang dimaksud salah satunya ialah dengan memberikan label pada pelaku sebagai orang yang pernah melakukan kekerasan seksual. Reputasinya sebagai pelaku kekerasan seksual akan menjadi label pada kehidupan sosialnya sehari-hari. Tapi apakah sanksi sosial berlebihan? Bila kembali pada derita korban yang ia akan alami seumur hidup, maka sanksi sosial bagi pelaku kekerasan seksual tidaklah berlebihan.
Selain itu, sanksi sosial juga akan menjadi ring kedua bila putusan pengadilan justru tidak berpihak pada korban. Hal itu (putusan perkara yang tidak adil) pernah dilakukan seorang hakim di Montana, Amerika Serikat, Todd Baugh. Selain ia memvonis pelaku kekerasan seksual hanya 30 hari, dan sang Hakim juga turut menyalahkan korban, yang menurutnya korban yang usianya 14 tahun dalam kondisi mengendalikan situasi, dan sang hakim menganggap hubungan dilakukan suka sama suka.

About Wawan Suwandi

Kordinator Aliansi laki-laki Baru wilayah Jakarta

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *