Pengantar
Ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan telah lama ditengarai sebagai akar ketidakadilan yang dialami perempuan. Ketidakseataraan itu pun diyakini terbangun di atas pondasi budaya patriarkhi yang bercokol kokoh dalam masyarakat dan ditopang oleh sistem pelestari yang melibatkan multi agen (media, institusi agama, institusi keluarga, institusi pendidikan, bahkan Negara). Fenomena inilah yang kemudian disebut ketidaksetaraan gender dan menjadi sebuah sistem sosial di dalam masyarakat.
Ketidakadilan terhadap perempuan atau yang kerap disebut sebagai ketidakadilan gender mengambil wajah yang sangat beragam dari perlakuan diskriminatif terhadap perempuan di segala bidang kehidupan. Dari peminggiran perempuan dalam bidang ekonomi, pencitraan negatif terhadap perempuan, beban kerja berlebihan hingga tindakan kekerasan.
Ketidakadilan terhadap perempuan ini memunculkan kesadaran di kalangan perempuan untuk melakukan gerakan pembebasan dari segala bentuk ketidakadilan. Belakangan kesadaran akan adanya ketidakadilan terhadap perempuan ini menular kepada kelompok yang selama ini dianggap paling diuntungkan oleh budaya patriarkhi, yakni laki-laki.
Kesadaran terlibat
Penularan kesadaran ini terjadi melalui berbagai cara, karena menyaksikan penderitaan perempuan yang mereka cintai, karena bekerja dengan organisasi perempuan, atau karena memiliki minat pada kajian perempuan. Kesadaran laki-laki ini juga muncul dari refleksi bahwa budaya patriakhi membawa dampak negatif bagi laki-laki sendiri, konstruksi kelelakian (maskulinitas) yang diandaikan oleh budaya patriarkhi juga melahirkan hirarki di kalangan laki-laki. Laki-laki menyadari bahwa hirarki itu menimbulkan ketidakadilan dan penindasan laki-laki atas laki-laki lainnya.
Dari kondisi yang demikian gerakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan tidak bisa dilakukan hanya di kalangan perempuan namun strategi melibatkan laki-laki menjadi penting untuk masuk dalam struktur komunitas masyarakat.
Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh Rifka Annisa sebagai lembaga yang bergerak dalam perlindungan perempuan dan anak adalah kegiatan sharing bersama dengan berbagai komunitas di wilayah Yogyakarta. Beberapa wilayah tersebut terdiri dari Kecamatan Pengasih dan Sentolo di Kabupaten Kulonprogo dan Kecamatan Semin dan Gedangsari di Kabupaten Gunung Kidul. Pertemuan yang dilakukan setiap bulannya mengasilkan proses diskusi menarik antar peserta, tidak hanya itu pertemuan ini juga dijadikan sebagai ajang sharing (sebut saja curhat) terkait persolan rumah tangga yang dialami oleh masing-masing peserta.
“Bisa menemukan forum seperti ini tidak mudah, ungkap salah satu peserta aktif yang terlibat dalam diskusi. Bagi mereka persoalan rumah tangga seperti ini tidak banyak dibicarakan apalagi kami dapat sharing dan konsultasi bersama” Ujar Siswanto ayah satu anak ini.
Keterbukaan ruang bagi laki-laki untuk menceritakan hal-hal pribadi ini tentu saja membebaskannya dari segala beban kultur masyarakat bahwa mereka harus terlihat tegar, keras dan penuh persaingan, sebaiknya menutup perasaan mereka yang sesungguhnya. Kelelahan psikis yang dialami mereka terakomodasi dalam ruang pribadi yang diciptakan oleh gerakan perempuan. Bahwa kepedulian, pengasuhan, kelembutan hati dan lain-lain adalah sifat-sifat yang dipendam jauh di bawah sadar laki-laki dan jarang mereka olah dan ekspresikan di ruang publik. Kebanyakan laki-laki ditekan potensi kepeduliannya menjadi potensi bersaing dan saling menjatuhkan, dapat kita lihat dalam dunia politik. Karena kepedulian dianggap bukan sikap maskulin, bukan sikap laki-laki.
Kenapa demikian? Sejak lahir laki-laki tidak dibiasakan untuk mengekpresikan perasan emosinya, ketika waktu kecil ia menangis, lingkungan sosial tidak begitu menerimanya. Pernyataan yang sering muncul “laki-laki kok cengeng”. Selain itu pola asuh orang tua yang membiasakan anak laki-laki lebih banyak melakukan permainan seperti mobil-mobilan- robot-robotan, perang-perangan. Berbeda dengan perempuan yang terlatih dengan emosinya, bahkan sebutan cengeng sudah biasa bagi perempuan. Pilihan permainan yang diberikan perempuan waktu kecil seperti boneka, alat-alat masak. Bahkan pilihan warna baju juga ditentukan laki-laki identik dengan warna biru atau hitam sedangkan perempuan pink. Hal ini menjadi salah satu factor bagaimana pengalaman waktu kecil seseorang itu tumbuh dalam hidupnya berpengaruh terhadap sikap yang dilahirkan ketika ia dewasa.
Beranjak dewasa lingkungan sosial menuntut laki-laki bisa mencari nafkah dan bekerja untuk keluarganya. Ketika ia tidak mampu untuk bekerja ia dikatakan tidak laki-laki. Dan karena merasa dirinya tidak sama dengan aturan kepantasan maka sering kali laki-laki melakukan segala upaya untuk menjadi laki-laki (dalam aturan kepantasan masyarakat). Perasaan yang ditekan dan tidak diungkapkan sedemikian rupa berdampak pada kehidupan laki-laki yang penuh dengan persaingan, keras dan kekuasaan.
Apa yang penting untuk dilakukan? Mengasah sifat anak sejak kecil bagaimana sifat feminin dan maskulin perlu dilatih dalam setiap kesempatan dalam hidupnya, tidak pandang jenis kelamin. Sehingga seseorang bisa tumbuh dengan keberanian sekaligus bisa bersifat lembut dan penuh kasih sayang.
Belajar dari komunitas
Dari ruang diskusi itu kemudian banyak laki-laki yang kemudian mulai berani mengungkapkan perasaanya. Awalnya tentu tidak mudah, sebagai orang luar yang tidak lahir dikomunitas setempat tentu proses mengenal lebih dekat dengan berkunjung dan mengenal masyarakat adalah hal yang utama dilakukan.
Ada banyak tantangan ketika mengkampanyeken program laki-laki di komunitas, pertama ketika melibatkan laki-laki dalam program ini, pertanyaaan yang sering muncul dari komunitas adalah “kenapa saya terlibat, saya bukan pelaku?”
Pernyataan ini muncul karena sebanarnya bebeberapa wilayah yang didampingi Rifka Annisa merupakan wilayah yang rentan terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), seperti tingkat perceraian yang tinggi maupun tingginya pernikhan usia anak. Karena hal itu pula ketika menyebutkan persoalan KDRT maupun gender sendiri mendapatkan resistensi dari kelompok tertentu sehingga perlu seorang community organizer (CO) untuk menggunakan pendekatan yang lebih bisa diterima missal melalui pendekatan anak dengan berbicara tentang pengasuhan, karena dengan anak orangtua pasti terlibat. Ataupun menggunkan pendekatan laki-laki sebagai salah satu korban dari ketidakadilan gender dalam struktur patriarki.
Dalam proses pertemuan yang berlangsung beberapa kali ini ada beberapa pembelajaran menarik yang dialami peserta, mereka mulai terbuka dengan dirinya tentang hal-hal yang sebelumnya sulit untuk dilakukan.
Pendapat Riyan salah satu peserta yang terlibat diskusi “saya melakukan pekerjaan rumah 24 jam stand by yang penting di dalam rumah, tapi kalau menyapu atau menjemur diluar rumah ogah”. Katanya. Ketika fasilitator bertanya dengan Riyan lebih lanjut merasa gengsi dan malu sama tetangga, “Buat saya sendiri kalau saya mencuci seakan turun derajatnya”, tegasnya.
Banyak masyarakat masih mengaggap laki-laki tidak pantas untuk melakukan tugas domestik, jika ada suami yang melakukan tugas rumah tangga, masyarakat akan mencemooh, terus bilang “istrinya di mana?”. Padahal ini hanya lah aturan umum masyarakat. Dan aturan itu juga tidak harus saklek. Aturan masyarakat bisa dibuat dengan lebih cair dan laki-laki bisa terlibat dalam tugas-tugas domestik.
Pendapat peserta lain “Saya sekarang mencuci dan memandikan anak hal biasa” jelas Siswanto Tarno salah satu peserta diskusi mengungkapkan “Saya sekarang mau mencuci dan ikut terlibat pekerjaan rumah tangga, sebelumnya tidak mau karena menganggap hal tersebut sebagai tugas istri”. Pernyataan ini juga dikatakan beberapa peserta yang lain. Banyak dari peserta diskusi yang mau dan terlibat aktivitas domestik.
Yang menarik pula dalam refleksi ini bagimana ini menjadi titik balik seorang ayah untuk tidak melakukan kekerasan lagi terhadap anaknya. Perubahan yang terjadi pada komunitas memang tidak bisa berbarengan, satu orang dengan orang lainya punya proses dan pengalaman hidup yang berbeda-beda. Refleksi perlu dilakukan terus menerus untuk membongkar kesadaran peserta. Hal yang menarik dalam proses ini adalah komunitas ini saling berkomitmen dan mendukung satu sama lain untuk bersikap yang adil gender yang dimulai dari lingkungan terkecil keluarganya. Bahkan mereka mulai mengkampanyekan lebih luas pada banyak komunitas yang lain.
Dampak Pembagian Tugas
Keterlibatan laki-laki dalam pembagian tugas rumah tangga juga berdampak pada kehidupan keluarga di masing-masing komunitas. Hal ini membuat dampak terhadap kehidupan keluarga peserta. Seperti ungkapan “Anak saya sekarang selalu gundeli kalau mau pergi, bahkan kunci montor sampai diumpetin” Jelas Siswanto. Tambahnya, “anak semakin dekat, kalau mandi lebih banyak dengan saya dari pada ibu” Tutur Siswanto yang juga aktif sebagai Kepala Dukuh.
Menurut Eko Yulianto ia juga mengalami banyak perubahan dengan anaknya, “sekarang anak saya kalau gak ada saya gak mau tidur, sebelum tidur minta ditemenin” Sekarang saya menyadari kalau saya merasa penting di keluarga”. Tegasnya
Hal ini merupakan upaya peserta dalam membangun rumah tangganya. Membangun kondisi keluarga yang lebih kaya. Situasi keluarga akan membentuk kondisi setiap orang dalam keluarga tersebut. Manfaat yang lebih besar ketika seorang ayah juga melakukan pekerjaan domestik, diantaranya pekerjaan rumah cepat selesai, perekonomian bertambah, selain itu ketika laki-laki atau ayah terlibat dalam pengasuhan anak maka akan menurunkan angka kriminalitas dikalangan anak-anak. Kehendak untuk peduli dengan sesama bahkan pasangannya merupakan upaya komunitas dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Meski perubahan sikap itu sudah banyak yang terjadi pada laki-laki namun ternyata seringkali kesempatan aktivitas domestik itu tidak dibagi pada pasangan atau suaminya. Istri masih belum percaya terhadap tugas yang selam ini diembannya, alasan seperti mencuci yang tidak bersih, dan lamban dalam melakukan aktivitas tersebut juga menjadi bagian dari alasan mereka belum percaya terhadap pasangannya, sehingga hal ini menjadi tantangan terhadap perubahan sikap tidak diiringi dengan kesempatan dan pembagian tugas yang baik.
Tantangan lingkungan yang tidak mendukung membuat mereka yang menginginkan berubah tidak didukung oleh ligkungan masyarakat dan keluarga sehingga ketika peserta komunitas kembali di lingkungan sosialnya perubahan itu kembali lagi.
Penutup
Dalam gerakan perempuan, laki-laki sangat dianjurkan untuk mengekspresikan sikap lembut dan kepeduliannya pada sesama, termasuk mengasuh anak-anak yang mereka kasihi, memperhatikan keharmonisan rumah tangga, dan ketika menjadi pejabat publik, sifat peduli itu terbawa dalam mengelola negara dengan tidak korupsi, tidak membuat keputusan yang mengorbankan orang lain dan hanya menguntungkan dirinya, tidak membohongi publik dan memanfaatkan jabatannya.
Laki-laki baru sebagai intepretasi baru atas dirinya. Bahwa dia bisa percaya pada dirinya sendiri sebagai manusia yang bisa memberi kasih sayang, perhatian dan peduli. Dan karena kepedulian dan perhatian tersebut, laki-laki berhasil mengolah sensitifitasnya atas persoalan ketidakadilan, korupsi, dll, termasuk ketidakadilan pada perempuan.