Catatan dari Dialog Publik Harmoni Dalam Keberagaman “Menguak Gender Dalam Bingkai Religiusitas”
Kegiatan dialog ini diselenggarakan pada tanggal 25 Maret 2015 bertempat di Hotel T-More Kupang atas kerjasama CIS TIMOR, Komunitas Laki Laki Baru Kupang dan Komunitas Peace Maker Kupang (KOMPAK). Hadir sebagai narasumber Prof. DR. Musdah Mulia, DR. Merry L. Y. Kolimon, dan Winston Rondo yang dimoderatori oleh Ibu Ana Djukana, SH. Kegiatan ini mengambil tema Harmoni Dalam Keberagaman “Menguak Gender Dalam Bingkai Religiusitas”.
Wakil direktur CIS TIMOR memulai dengan memberi sambutan dan mempersilahkan kegiatan ini dibuka oleh Kepala Badan Kesatuan bangsa dan Politik Kota Kupang yang membacakan sambutan tertulis dari Walikota Kupang. Dalam sambutannya, Walikota Kupang menyampaikan, ide-ide cerdas dari orang muda seperti patut diapresiasi dan diberikan ruang yang lebih banyak sehingga, pembangunan kesadaran bersama untuk mewujudkan perdamaian dan kesetaraan gender di kota ini harus senantiasa dipupuk dan dikembangkan.
Setelah kegiatan dibuka, dialog pun dimulai dengan Ibu Ana Djukana selaku moderator mempersilahkan narasumber untuk maju kedepan. Setelah sedikit memperkenalkan narasumber, moderator kemudian mempersilahkan para narasumber memaparkan materinya.
Prof. DR. Musdah Mulia terlebih dahulu mendapat kesempatan. Dalam paparannya, Ibu Prof. Musdah menyampaikan “Sebagai negara bangsa, Indonesia menghadapi masalah yang kompleks dan rumit. Masalah itu, antara lain berkaitan dengan jumlah penduduk yang sangat besar, yakni sekitar 215 juta jiwa, Indonesia menduduki urutan ke-4 di dunia setelah RRC, India, dan USA. Hal itu di tambah lagi dengan kondisi penduduk yang sangat majemuk, terdiri dari sekitar 300 kelompok etnis yang memiliki lebih dari ribuan bahasa lokal dengan identitas kultural masing-masing serta tersebar di 13.000 pulau, besar dan kecil, dan merupakan negara kepulauan yang terbesar di dunia.
Masalahnya, kita sering memandang kondisi heterogen yang terbentuk secara alami itu sudah cukup menjadi fondasi dasar bagi bangunan demokrasi di Indonesia. Karena itu, selama ini hampir-hampir tidak terlihat upaya-upaya serius untuk menumbuhkan rasa saling menerima dan menghargai keragaman di dalam masyarakat, baik dalam pendidikan di lingkungan keluarga, terlebih lagi di lingkungan lembaga pendidikan formal dan nonformal. Padahal, kesadaran pluralisme dalam diri seseorang tidak tumbuh secara otomatis, melainkan membutuhkan stimulan, latihan dan pengalaman konkret. Penghargaan terhadap kebhinekaan Indonesia harus ditumbuhkan secara terus-menerus, harus dirajut melalui berbagai cara yang beradab.
Selain keragaman budaya, keanekaragaman bentuk kesenjangan juga membalut kehidupan masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia tediri dari orang-orang yang sangat terpelajar sampai dengan orang-orang yang buta huruf. Dari yang sangat rasional sampai yang sangat emosional. Dari yang sangat primordialistis sampai yang sangat nasionalistis. Dari yang sangat kaya, bahkan mungkin yang terkaya di dunia sampai yang sangat miskin, mungkin juga yang paling miskin di dunia. Demikian pula dari aspek keagamaan, didapati orang-orang dari yang sangat beragama dan sangat saleh sampai yang tidak mengenal ajaran agama. Dari yang berpandangan keagamaan sangat tolerans dan inklusif sampai kepada yang sangat fanatik dan eksklusif. Realitas sosiologis yang ada menunjukkan betapa majemuk keadaan bangsa Indonesia.
Pendek kata, sulit mencari negara di dunia ini yang mempunyai heterogenitas dan kemajemukan yang demikian kompleks seperti Indonesia. Realitas ini sepatutnyalah menyadarkan kita semua, terutama para pengambil keputusan, agar tidak gegabah apalagi berlaku arogan di dalam merumuskan suatu keputusan untuk kepentingan seluruh bangsa yang demikian beragamnya itu.
Di lain sisi, kita masih juga bertempur dengan peran peran sosial yang kita bangun. Yah, bagaimana mungkin membangun perdamaian di bangsa ini jika mayoritas perempuan di negeri ini masih mengalami tindakan diskriminatif dan menjadi korban kekerasan. Banyak umat muslim yang mengganggap Konsep Gender adalah konsep barat, padahal Rasululoh datang membawa kesamaan anatara perempuan dan laki-laki. Rasul mengatakan bahwa anak laki-laki dan perempuan itu sama harganya. Dahulu itu anak laki-laki sangat berharga dan anak perempuan itu di aganggap memalukan, Oleh karena itu mengapa sekarang dalam islam ada akikah.
Akikah sejarahnya hanya pada lakil-laki. Apa yang kita perjuangkan dalam konsep gender ini adalah laik-laki dan perempuan sama-sama dihargai sebagai manusia yang utuh. Tidak boleh ada diskriminasi untuk perempuan. Oleh karena itu kodrat anda sebagai perempuan kondrat anda sebagai laki-laki harus kita hargai, kita sama-sama berharagai sebagai manusia, tetapi kenyataan masyarakat kita masih ada budaya-budaya yang menyebutkan kamu perempuan gak boleh, kamu perempuan gak boleh pemimpin. Takut. Alasannya macam-macamnya.
Apakah memasak itu kodrat perempuan? Masak itu gak pake payudara. Memberi makan untuk anak balita kodarat atau bukan? Itu gak pake rahim kan? Tetapi mengapa masyarakat selalu mengharuskan perempuan itu di rumah? Sebagai peremuan/ istri juga punya cita-citapunya karir. Paradigma berpikir kita sudah harus dan wajib berubah sekarang.
Selanjutnya Winston Rondo selaku aktivis gerakan perdamaian dan kesetaraaan gender yang juga merupakan ketua komisi V DRPD Provinsi Nusa Tenggara Timur, dalam presentasinya beliau mengajak semua orang muda untuk senantiasa menjaga idealisme positif, idealisme untuk terus menjadikan Kupang sebagai rumah nyaman untuk bersama tak pandang jenis kelamin, tak pandang usia, tak pandang agamis dan non agamis,tak pandang suku asli dan pendantang, tak pandang sekte mayoritas atau minoritas. Gerakan perdamaian dan keadilan gender harus tetap tumbuh dan berkembang selaras dengan perkembangan provinsi ini.
Winston Rondo banyak mengupas kerja kerja perdamaian dan kesetaraan gender yang telah dilakukan sebagai bahan sharing dan pembelajaran bagi teman-teman orang muda lintas agama dari Kabupaten Belu dan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Menutup presentasinya, ia menyampaikan “kita bicara tentang keberagaman, kita merawat masa depan. Gunakan Sosial media untuk alat persaudaraan. Atau memakainya untuk memecah belah? Perempuan ahli positif bina damai…. Akar nasionallisme adalah Humanisme atau penghargaan terhadap kemanusiaan dan mereka yang menupayakan perdamaian adalah para pembela kemanusiaan. Sesungguhnya mereka adalah pejuang kemanusiaan pejuang kemerdekaan”.
Setelah Winston Rondo, giliran DR. Merry Kolimon yang menyampaikan materinya. DR. Merry membedah pandangan teologi kristin dalam melihan pluralitas keberagaman dan tak lupa menguak persoalan gender yang sering salah diintrepetasi dalam kehidupan masyarakat kristiani. Dalam paparannya, DR. Merry juga mengumukakan hasil penelitiannya terkait hubungan orang Bugis Muslim dan Orang Atoin meto Kristen di Kabupaten TTS. Dalam hasil risetnya sesuatu yang terungkap adalah PEREMPUAN jalan perjumpaan untuk membangun ikatan perdamaian di sana. Perempuan Bugis yang menikah dengan laki-laki timor ataupun sebaliknya mempunyai andil yang besar dalam perjumpaan antar agama.
Setelah sesi pemaparan materi, moderator membuka diskusi dan antusian peserta dialog yang luar biasa membuat para narasumber mengupas lebih dalam materi yang disampaikan. Kegiatan dialog ini berakhir pada pukul 14.00 WITA yang ditutup dengan makan siang bersama.