Karir Graeme Le Saux sebagai pesepakbola tergolong sukses. Ia memenangi Premier League tahun 1995 bersama Blackburn Rovers dan menjadi juara Piala Winners dan Piala FA bersama Chelsea tahun 1998 dan 2000.
Sebagai bek kiri, ia dipanggil ke timnas Inggris dan menjadi pemain reguler The Three Lions dengan jumlah 36 caps atas namanya. Ia bukanlah bek kiri terbaik yang dimiliki Inggris, tapi dibandingkan dengan nasib ribuan pesepakbola lainnya di ranah Britania, jelas karir Le Saux lebih bersinar.
Tapi segala prestasinya tersebut tak serta merta membuat hidupnya sepi dari hujatan. Sepanjang karirnya Le Saux terus mendapatkan hinaan dan kecaman baik dari suporter lawan maupun dari sesama pemain. Gara-garanya adalah latar belakang Le Saux yang kurang sesuai dengan stereotype sepak bola sebagai olahraga kelas pekerja yang macho.
Tidak seperti kebanyakan pesepakbola lain, Le Saux pernah menjadi mahasiswa jurusan ilmu lingkungan karena nilai-nilai bagus semasa SMA. Ia menyukai seni dan sastra serta gemar nonton teater. Ia adalah kutu buku yang fasih bicara berbagai isu aktual dari politik hingga ekonomi. Koran favoritnya adalah The Guardian, sebuah surat kabar progresif yang lebih banyak dibaca oleh kelas menengah terdidik. Le Saux adalah anti-tesis dari lads culture yang identik dengan alkohol, perempuan, dan sepakbola — sebuah subkultur yang mengemuka pada periode 90-an di Inggris.
Karena latar belakangnya ini, Le Saux kerap dituduh homoseksual dan mendapatkan penghinaan homofobik dari suporter lawan. Bahkan dalam sebuah pertandingan, striker Liverpool, Robbie Fowler membungkukkan badannya dan menunjuk ke arah bokongnya sebelum Le Saux mengambil tendangan bebas.
Tentu saja tuduhan ini tidak tepat karena Le Saux adalah seorang heteroseksual yang mempunyai istri dan 2 orang anak. Tapi oleh publik sepak bola Inggris masa itu, Le Saux dianggap sebagai alien dengan atribut yang asing dari yang mereka kenal selama ini. Tak peduli betapa Le Saux selalu berjibaku di lapangan dengan berlari menyisir sayap kiri, melayangkan tekel keras, dan melepaskan umpan silang, bagi mereka yang kebanjiran hormon testosteron, Le Saux tak cukup jantan untuk bermain sepak bola.
***
Saya teringat kepada kisah Le Saux di atas usai ribut-ribut soal One Direction yang hendak menggelar konser di Gelora Bung Karno (GBK). Aspek teknis dari masalah ini (soal penggunaan lapangan, jadwal, dan prioritas) rasanya sudah selesai untuk dibahas. Pengelola stadion, yang bisa dipakai untuk apapun dari partai olahraga, kampanye parpol, hingga konser musik, menyewakan tempatnya kepada penyewa yang sudah membayar dan memesan tempat dari jauh-jauh hari. First come, first serve. Prosedur standar dalam bisnis.
Sampai batas tertentu, protes dari para “pecinta” sepakbola soal stadion sepakbola yang digunakan untuk event nonsepakbola masih bisa dimengerti. Hanya perlu memberi pengertian bahwa, hanya karena di tengah-tengahnya ada 2 tiang gawang bukan berarti lapangan tersebut haram untuk digunakan untuk keriaan lain.
Yang mengusik adalah sentimen negatif yang dilayangkan oleh beberapa pihak, yang kita sebut saja Front Pembela Sepakbola (FPS) kepada One Direction dan penggemarnya bahwa kawanan boyband dari Inggris ini dianggap tak cukup jantan dan macho untuk menggunakan coloseum sakral tempat eksibisi testosteron seperti stadion sepakbola. Anda cukup untuk mengklik 2 tagar yang sedang populer di Twitter soal masalah ini (yang tak akan saya promosikan di sini, tapi saya rasa anda tahu yang mana), untuk melihat berbagai twit yang membawa-bawa isu maskulinitas.
Melihat bagaimana One Direction dianggap “banci” dan “alay” kembali mengingatkan bahwa sepak bola adalah sebuah lahan yang gembur bagi machoisme. Sepakbola bagi beberapa orang dianggap sebagai representasi kejantanan di mana tak ada tempat untuk sesuatu yang berada di bawah garis standar maskulinitas tertentu.
Jika anda laki-laki, maka harus suka sepakbola. Jika anda tidak suka sepakbola, maka anda bukan laki-laki. Ini adalah sebuah diktum yang sering digunakan oleh mereka yang testosteronnya hanya bisa muncrat karena sepak bola dan tidak bisa karena hal lain. Belum lagi anggapan lain bahwa hanya laki-laki yang halal untuk menyukai sepakbola dan melahirkan pertanyaan seksis, “Kok perempuan suka sepakbola?”
Saya termasuk orang yang kerap menyeringai jika menemukan orang yang tidak suka sepakbola, tapi lebih karena bagaimana ada umat manusia yang tidak suka narkotik gratis dan legal seperti sepakbola (akui saja, meminjam Marx, sepakbola adalah candu). Tak ada hubungannya dengan maskulinitas, gender, dan sebagainya. Suka atau tidak suka sepakbola tak akan mempengaruhi apa pun.
Memang masalah machoisme dan seksisme dalam sepakbola adalah sebuah isu global yang menahun. Tak kurang dari diktator Presiden FIFA, Sepp Blatter, yang beberapa kali melayangkan pernyataan yang akan membuat Simone De Beauvoir murka. Dari mulai usulnya agar para pesepakbola perempuan memakai baju yang lebih minim lagi agar menarik perhatian yang lebih luas hingga pernyataannya bahwa sulit untuk menerima keberadaan perempuan dalam organisasi karena sepa bola adalah sesuatu yang macho.
Dalam tatanan yang lebih mikro pun, secara sadar atau tidak, penonton sering terjebak dalam machoisme sepakbola.
Sebagai contoh, sederhana saja, berapa banyak kita yang bukan penggemar Real Madrid sering mengejek Cristiano Ronaldo sebagai banci? Kita tahu bahwa CR7 adalah pesepakbola luar biasa, tapi karena beberapa orang sulit menerima kenyataan bahwa Ronaldo adalah seorang pesolek yang menghabiskan waktu 30 menit sebelum pertandingan untuk menyisir rambut dan gemar untuk memamerkan otot perutnya, maka cara termudah untuk menghinanya adalah menyoroti atribut yang dianggap tak sesuai dengan kaidah-kaidah machoisme penggemar sepakbola.
Sesungguhnya ejekan-ejekan yang meragukan maskulinitas Ronaldo patut untuk membuat para pria insecure. Jika seseorang seperti Ronaldo, yang tubuhnya dipenuhi otot berlekuk seperti pahatan patung dewa Yunani, bisa berlari secepat kijang, melompat setinggi cheetah, dan mengencani perempuan cantik seperti Irina Shayk, dianggap tak cukup lelaki, lalu apa harapan bagi kita-kita yang berperut buncit dan berlemak untuk dianggap jantan? Jika saya punya tubuh seperti Ronaldo, maka 6 hari dalam seminggu saya akan keluar rumah bertelanjang dada.
Menggelitik untuk melihat, kala para penonton sepakbola masih belum bisa keluar dari kotak maskulinitas semu, semakin hari para pesepakbola profesional justru semakin menipiskan batas persepsi antara mana yang jantan dan mana yang tidak. Pesepakbola di era dulu identik dengan kultur alkohol yang membuat tubuh mereka tak terawat. Tapi itu tak berlaku sekarang.
Sejak David Beckham muncul di publik mengenakan sarung yang menyerupai rok tahun 1998, maskulinitas pesepakbola profesional menemukan definisi baru. Fredrik Ljungberg menjadi model iklan celana dalam. Hidetoshi Nakata bukan hanya model, tapi juga desainer pakaian. Olivier Giroud berpose untuk majalah kaum gay di Prancis. Para pesepakbola Italia adalah salah satu kawanan pertama yang membawa hairdryer ke ruang ganti. Entah seberapa tebal pomade yang dipakai Graziano Pelle sebelum pertandingan.
Di dalam negeri pun serupa. Hampir semua pesepakbola profesional aktif yang saya temui punya citarasa busana yang tak kalah dengan artis sinetron, malah kadang lebih baik. Bulan lalu saya berpapasan dengan seorang pemain tim nasional dan ia menggunakan kaos v-neck, sesuatu yang tak akan disentuh oleh sebagian pria karena dianggap simbol orientasi seksual tertentu. Ia sama sekali tak terganggu dengan pilihan bajunya tersebut.
Baik di luar atau dalam negeri, kita hidup dalam era di mana para pesepakbola tak hanya mementingkan penampilannya di dalam lapangan, tapi juga memperhatikan penampilan mereka di luar lapangan. Sudah berlalu masa di mana para pemain sepakbola berpenampilan butek, lusuh, dan tak merawat diri. Pesepakbola era sekarang atletis, bersolek, wangi, dan digemari wanita.
Pendeknya, para pesepakbola zaman sekarang tak ada bedanya dengan One Direction. Hanya karena mereka bernyanyi dan menari selama 1,5 jam di panggung, tak berarti mereka kurang laki-laki dibanding pesepakbola. Lagipula, coba saja bernyanyi dan menari secara simultan selama 15 menit jika anda kuat.
Maka segala kecaman yang diarahkan kepada One Direction dan penggemarnya sebagai sesuatu yang tidak jantan dan alay hanya sebuah lagu lama machoisme sepakbola yang seharusnya sudah ditendang jauh-jauh keluar dari chart.
Oh, omong-omong, saya bukan penggemar One Direction. Menurut saya musik mereka seperti Manchester United musim ini: monoton dan miskin imajinasi.
Saya adalah penggemar 98 Degrees.
Nick Lachey & Jeff Timmons. Forever.
====
Penulis: Pangeran Siahaan, satiris dan penulis sepakbola, presenter BeIN Sports Indonesia. Bisa dihubungi melalui akun twitter @pangeransiahaan
Sumber: Detik Sport