Perkembangan kebutuhan hidup manusia yang dipicu oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terus mengalami fluktuasi dari zaman ke zaman. Semakin banyaknya kebutuhan hidup manusia, semakin menuntut pula terjadinya perubahan gaya hidup (lifestyle). Sebagai dampaknya, hal ini menuntut setiap orang untuk selalu up to date. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan hidup dan didorong oleh pesatnya teknologi informasi dan komunikasi seperti surat kabar, televisi, film, internet jarak informasi dari satu negara ke negara lain semakin tipis.
Jika diamati dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan dalam tuntutan gaya hidup baik pada laki-laki maupun perempuan. Dalam konteks perempuan, mungkin bukan sesuatu yang dipermasalahkan karena sebuah hal yang lumrah secara sosial dan mungkin bukan sesuatu yang menarik untuk dikupas. Namun akan sangat berbeda jika subyeknya adalah laki-laki karena menimbulkan sesuatu persepsi lain yang menimbulkan tanda tanya besar.
Walaupun di masa sekarang bukan menjadi sesuatu hal yang yang unik dan aneh lagi, laki-laki berpenampilan macho namun “cantik” telah menimbulkan suatu logika baru pertumbuhan zaman. Konsep bahwa industri kecantikan selama ini seolah bernaung di bawah gender perempuan kini mulai bergeser ke kelompok laki-laki. Bukan sesuatu hal yang tabu lagi jika pria kini cenderung memperhatikan penampilan dan perawatan tubuh mereka dan terkadang untuk beberapa kelompok laki-laki ternyata lebih telaten dan intensif dalam melakukan perawatan dibandingkan dengan perempuan. Populasi kaum lelaki yang menonjolkan sisi femininnya tidak hanya muncul di kota-kota besar di Indonesia, bahkan di kota kecil seperti Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Tulisan ini bertujuan untuk mengupas apakah gaya pria metroseksual adalah cara untuk menunjukkan sisi feminin dari laki–laki ataukah hanya implikasi arus global yang tak terbendung.
Metroseksual; Maskulinitas Baru
Kecenderungan pria untuk memperhatikan penampilan itu kemudian lebih trend disebut dengan istilah Metroseksual. Gaya hidup ala metroseksual baru mulai mendunia pada tahun pertengahan tahun 2002. Sejak saat itu metroseksual seakan menjadi produk dari globalisasi. Jika kita menelusuri jejak sejarah, gaya hidup metroseksual telah ada dalam cerita mitos Yunani kuno ribuan tahun yang lalu, ataupun sebelum kelahiran Raja Louis XIV dari Perancis di tahun 1638 yang terkenal dandy dan glamor, dan sebelum Caligula (Gaeus Caesar) menjadi kaisar Romawi. Pada tahun 1994 dimana pertama kali diperkenalkan kata metroseksual oleh Mark Simpson seorang kolomnis fashion dari Inggris. Cikal bakalnya kemunculan metroseksual berhubungan dengan seorang pribadi Narsisius yang terkenal sangat membangga-banggakan penampilannya, terutama pada bagian wajah.
Istilah metroseksual sebenarnya mengalami pergeseran makna dari definisi sebenarnya. Pada awalnya Metroseksual tidak sekedar didefinisikan sebagai gaya hidup pria yang urban, kosmopolitan, konsumtif dan narsistik. Metroseksual awalnya didefinisikan sebagai bentuk maskulinitas baru bagi para laki-laki. Jika dulu maskulinitas diidentikkan dengan kegagahan, kegarangan, tubuh yang besar, pekerja kasar dan berkepribadian keras, maka metroseksual mendefinisikan maskulinitas yang baru.
Metroseksual mendefinisikan maskulinitas sebagai orang yang tidak malu menujukkan sisi feminitasnya. Artinya maskulinitas tidak lagi hanya diidentikan dengan kegagahan, kegarangan dan kekerasan. Maskulintas baru diartikan sebagai laki-laki yang mampu menunjukkan sisi emosionalnya secara positif, kasih sayangnya, sensitifitasnya, romantis, empati dan lembut. Pria dengan maskulinitas versi baru ini tidak ragu untuk menemani istrinya berbelanja, mengasuh dan menggendong anaknya, memasak, mengurus rumah, menonton film drama, curhat dan hal-hal lain yang selama ini diidentikkan dengan feminitas perempuan.
Apabila ditilik lebih jauh, sebenarnya metroseksual adalah salah satu keberhasilan gerakan feminis. Feminisme berhasil mendefinisikan maskulinitas baru bagi para pria. Ranah domestik seperti mengasuh anak, berbelanja, memasak dan mengurus rumah tidak lagi menjadi tanggung jawab perempuan saja. Akan tetapi, menjadi tanggung jawab yang dibagi bersama.
Feminitas yang identik dengan kelembutan, sensitivitas dan emosionalitas bukan lagi menjadi hal yang melemahkan dan memalukan. Tetapi justru menjadi hal yang wajar, manusiawi dan alamiah. Pria yang menunjukkan emosinya, seperti menangis, tidak lagi dianggap sebagai pria yang tidak normal. Disinilah feminitas perempuan naik derajat. Feminitas diperlakukan sebagai hal yang alamiah dan terdapat tidak hanya pada perempuan saja tetapi juga terdapat pada pria.
Dalam kacamata sosial, feminitas tidak lagi menjadi sifat alami dari perempuan tetapi juga sifat alami yang dimiliki oleh laki-laki. Feminitas tidak dikaitkan dengan gender tapi sebagai hal yang umum bagi manusia baik perempuan dan pria sehingga kesetaraan antara kedua gender ini tercapai. Apabila selama ini perempuan dinomorduakan karena dianggap lemah akibat feminitasnya, maka dengan adanya metroseksual hal itu menjadi tidak berlaku lagi. Perempuan dan pria menjadi gender yang setara karena maskulinitas dan feminitas bukan merupakan monopoli salah satu gender saja. Feminitas dan maskulinitas bukan sesuatu hal yang given tetapi hal yang bisa didefinisikan ulang.
Metroseksual dan Kapitalisme
Metroseksual kerap diindikasikan sebagai sesuatu yang baru. Fenomenanya kerap dihubungkan dengan melejitnya arus globalisasi. Metroseksual telah menjadi suatu tren lifestyle dalam masyarakat metropolitan di seluruh dunia. Gaya hidup ini menampilkan sisi glamor dari kehidupan seorang pria kaya raya dan fashionable. Sentuhan modern khas masyarakat urban sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari para laki-laki metroseksual. Saat ini, Metroseksual menjadi suatu kata yang tidak asing, terutama bagi mereka yang hidup dalam lingkungan urban dan kosmopolitan. Metroseksual sering didefinisikan secara bebas sebagai gaya hidup pria-pria yang gemar berdandan dan narsis.
Akan tetapi, metroseksual yang merupakan sebuah upaya untuk mendefinisikan maskulinitas baru ditunggangi oleh kepentingan kapitalisme. Komodifikasi metroseksual mengubah maknanya hanya sekedar gaya hidup laki-laki urban, kosmopolitan, konsumtif dan narsistik. Di Kupang, berbagai gerai perawatan tubuh kaum laki-laki bermunculan menandakan bahwa nilai kapitalistik lebih kental dalam pemilihan metroseksual. Sejatinya untuk menunjukkan nilai feminin dari seorang laki-laki tidak hanya sekedar ditandai dengan perawatan tubuh.
Kapitalisme menemukan pasar baru dengan munculnya gaya hidup metroseksual. Kapitalisme mencoba menawarkan produk-produk baru bagi para laki-laki dengan embel-embel ‘maskulin definisi baru’. Para laki-laki yang tadinya “hanya” menemani istrinya berbelanja, akhirnya justru menjadi ikut berbelanja. Dan akhirnya metroseksual justru identik dengan gaya hidup pria urban yang konsumtif.
Sayangnya saat ini metroseksual tidak lagi mencerminkan definisi awalnya. Kapitalisme telah mendistorsi metroseksual. Jika ditanya kepada masyarakat tentang definisi metroseksual, maka mayoritas mungkin akan menjawab metroseksual sebagai gaya hidup pria yang konsumtif, narsistik dan kosmopolitan.
Jika saya dikatakan sebagai pria metroseksual dalam arti saya seorang laki-laki yang tidak ragu-ragu menunjukkan sisi feminitas saya, seperti ekpresi emosi ketika sedih, lembut, sensitif dan empati, maka dengan senang hati saya akan mengamininya. Akan tetapi apabila saya dikatakan sebagai pria metroseksual hanya dalam arti seorang laki-laki yang bergaya hidup urban, konsumtif dan narsisitik maka ceritanya akan berbeda.