Catcalling: Ketika Para Kucing Kurang Kerjaan Menggodamu

Tulisan ini ditujukan untuk sesama perempuan Indonesia – dengan orientasi seksual apa pun, cisgender maupun transgender, usia berapa pun, status apa pun. Juga untuk para lelaki Indonesia yang ingin mencoba peduli pada perempuan.

Pernahkah kalian mendengar istilah catcalling?

Saya seorang perempuan Indonesia, heteroseksual, cisgender, 26 tahun, lajang. Saat ini saya sedang bekerja sebagai dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap) di sebuah Puskesmas suatu kecamatan di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Daerah ini termasuk kategori ST (Sangat Terpencil), tapi saya beruntung karena entah bagaimana sinyal internet di sini masih sanggup 3G.

Suatu malam, saya kehabisan lauk makan. Saya lalu memutuskan untuk pergi ke sebuah warung yang letaknya kurang lebih 20 meter dari rumah dinas untuk membeli mi instan. Saat itu belum terlalu larut, mungkin sekitar pukul 8 malam waktu setempat.

Secara umum, saya seorang introvert yang tidak pernah benar-benar merasa nyaman berada di ruang publik terbuka atau di antara orang asing. Saat berjalan di ruang publik, entah karena ke-introvert-an saya atau karena insting (yang menyedihkan) sebagai perempuan yang katanya jangan terlalu menarik perhatian agar aman, saya lebih sering memfokuskan pandangan pada ponsel, bintang di langit, aspal – apa pun selain bertatap muka dengan orang-orang.

Maka, berjalanlah saya. Sebenarnya jalannya cukup lebar, juga sudah beraspal. Tapi situasi jalan gelap, hanya ada penerangan dari lampu-lampu rumah warga yang agak jarang-jarang. Situasi di depan bisa dipantau, tapi bahaya menginjak tahi anjing di rerumputan tetap nyata.

Baru lima menit berjalan, dari seberang jalan – entah dari rumah yang mana atau gang yang mana, tidak kelihatan – terdengar suara-suara:

“Dok!”
“Dok! Dokter!”
“Hei, Dok!”
“Jangan malu-malu, dong, Dok!”

Saya tidak tahu suara-suara itu berasal dari remaja atau bapak-bapak atau malah opa-opa. Saya tidak tahu ada berapa orang.

Beberapa saat sebelum memutuskan keluar rumah, saya baru saja membaca artikel tentang street harrassment, yang ditulis oleh Hannah Al Rashid, aktris Indonesia blasteran Perancis-Bugis. Dia, seorang selebriti, menceritakan bagaimana ia dilecehkan secara seksual (dengan cara diremas payudaranya) di salah satu jalan kecil di Jakarta, dan bagaimana ia memutuskan melawan.

Kejutan! Beberapa menit setelah membacanya, saya, seorang perempuan biasa yang socially awkward, langsung mengalaminya sendiri dalam bentuk catcalling, di salah satu desa kecil di ujung dunia.
Pelecehan terhadap perempuan bisa terjadi di mana saja, kapan saja, pada siapa saja.

Setelah membaca cerita saya (dan membandingkannya dengan Hannah), mungkin kalian berpikir, “Ah, pelecehan seksual apanya? Itu, kan, cuma cowok-cowok iseng kurang kerjaan. Kalau ceritanya Hannah, nah, itu baru mengerikan.”

Kalau kalian meng-Googling kata kunci “catcalling” atau “catcall”, kalian akan menemukan bahwa istilah ini kurang lebih berarti:

  1. Melakukan hal-hal bertendensi seksual (biasanya dengan volume keras meski belum tentu secara eksplisit), termasuk bersiul, berseru, memberikan gestur, atau berkomentar, biasanya kepada perempuan (juga bisa laki-laki atau gender yang lain) yang lewat di jalan.
  2. Menyuarakan bebunyian atau keributan kepada seseorang di depan publik yang membuat orang itu tidak nyaman (biasanya kepada pembicara, performer, atlet, dll.)

Bentuk catcalling bisa macam-macam. Kalau di Amerika atau negara Barat, biasanya catcalling ini berkisar antara pujian-pujian iseng, “Hey, gorgeous, where are you going?”, sampai yang betul-betul mengerikan dan eksplisit secara seksual, “Nice tits!” atau “Why don’t you suck my cock?”.

Kalau di Indonesia, bisa berbentuk siulan-siulan atau bebunyian tidak sopan, “pujian”; “Hai, Cantik, mau ke mana?”, sapaan absurd (“Cewek, sendirian aja, nih? Mau ditemenin, nggak?”), perhatian yang tidak masuk akal (“Kok, cemberut aja, Neng? Lagi sedih, ya?”), dsb.

Biasanya kalau korbannya bersikap acuh, catcalling ini akan berkembang menjadi komentar-komentar seperti; “Ih, sombong banget, sih?”, “Jangan malu-malu, dong….”, dan seterusnya.

Bahkan teman-teman perempuan berhijab bercerita bahwa mereka sering mendapat catcalling dalam bentuk sapaan Assalamualaikum secara random di jalan – Assalamualaikum adalah doa yang baik artinya, tapi seriously, kalau seorang atau segerombolan lelaki tidak jelas di jalan menyapamu dengan sapaan itu tanpa ada angin atau hujan, apakah kamu percaya mereka sungguh-sungguh sedang mendoakanmu damai sejahtera?

Sekarang, coba bayangkan kalau kalian mengalami itu semua. Atau, saya yakin, sebagian besar dari kalian sudah pernah mengalaminya, terutama yang berdomisili di kota-kota besar dan sering ke mana-mana sendirian.

Rata-rata korban catcalling akan merasa tidak nyaman, terganggu, malu, bahkan takut. Ada beberapa yang merasa bangga atau senang saat mendapat catcalling bernada pujian, tapi biasanya kebanggaan ini terkait dengan respon body image yang keliru (“Kalau aku lewat di jalan dan nggak ada yang godain aku, jangan-jangan itu berarti aku nggak cukup menarik buat mereka notice?” dan semacamnya).

Menurut sebuah survey psikologis yang berbasis di New Jersey, catcalling dapat menyebabkan korbannya tanpa sadar melakukan penilaian atas diri sendiri seperti layaknya menilai benda (self-objectification), membuat sang korban menilai dirinya sebagai bagian-bagian tubuh, alih-alih seorang manusia yang utuh dan cerdas.

Catcalling juga dapat menimbulkan perasaan takut dan tidak aman dalam berbagai gradasi, karena seorang korban (biasanya dalam hal ini perempuan) tidak pernah bisa yakin apakah “keisengan” yang dialaminya itu akan berkembang menjadi sesuatu yang lebih mengerikan atau tidak.

Menurut opini pribadi saya, catcalling adalah suatu bentuk perendahan martabat dan pelanggaran terhadap ruang privat. Selain, tentu saja, pelecehan secara seksual (ingat, meskipun tidak tampak eksplisit) dan pelanggaran terhadap hak otoritas tubuh dari sudut pandang korban perempuan. Sesederhana apa pun bentuknya. Mengapa?

  1. Pelaku catcalling merasa berhak untuk menilai, mengomentari, dan menjustifikasi penampilan serta tubuh sang korban sebagai obyek sesuai kepentingan dan seleranya, biasanya dalam konteks seksual (sesamar apa pun – seksual di sini saya artikan sebagai ketertarikan fisik).
  2. Pelaku catcalling mendesakkan suatu bentuk perhatian yang tidak diinginkan, dan justru mengganggu, korbannya.
  3. Pelaku catcalling memaksakan relasi yang tidak diinginkan dan tidak diterima korbannya (baca: merangsek masuk ke dalam wilayah privat korbannya) meski sang korban jelas-jelas menolak.
  4. Pelaku catcalling biasanya memberikan respon negatif jika korban mengacuhkannya (kalau di Amerika, bahkan sampai ada yang bilang, “Hey, bitch, I’m talking to you!” atau “Hey, I said you’re beautiful! You should be grateful for that!”). Bagi saya, ini menunjukkan bahwa si pelaku merasa “lebih” dari korbannya.
  5. Dan belum termasuk kenyataan bahwa kelakuan ini pada dasarnya tidak sopan, norak, dan annoying.

Sudah terbayang, kan, sekarang?
Kembali ke cerita saya. Seperti sudah saya tuliskan, saya seorang introvert seratus persen. Talking back to strangers who act annoying? Definitely not my cup of tea. Insting pertama saya adalah menenggelamkan diri ke bawah tanah. Malu malu dan MALU!

Tapi….
Pikir-pikir, kenapa, ya, mereka melakukan catcalling pada saya? Jelas bukan karena penampilan saya yang provoking – saya cuma pakai kaus kebesaran dan celana piama selutut. Apakah karena saya dokter PTT perempuan pertama di desa ini setelah entah berapa lama?

Apakah karena saya perempuan pendatang dari “Jawa”, the faraway land of magic? Apakah karena mereka hanya kurang kerjaan? Apakah karena status dokter saya? Apakah mereka bahkan memahami konsep “sexist”? Atau alasan paling sederhana dan paling jamak di tempat ini: apakah mereka mabuk?

Cuma neraka yang tahu. Yang jelas, mereka mengganggu dan melecehkan. Dan saya pun memutuskan untuk membalas berteriak – meskipun sambil agak gemetar – dalam logat setempat yang sudah lumayan menempel di lidah saya, “Jangan kurang ajar, ya!”. Lalu terus berjalan.

Saya akui, saya tetap merasa takut saat melakukannya. Ini lingkungan kecil dengan adat kuat, segerombolan katak dalam tempurung – entah siapa yang saya teriaki tadi, entah siapa yang memiliki kemungkinan jadi sakit hati lalu mengirimi saya guna-guna (Oh please God forbid – bukan berarti saya percaya guna-guna… atau saya percaya? Damn, this has started to be confusing….).

Tapi, Hannah benar. Kita, para korban catcalling, merasa terganggu bahkan takut. Tapi mereka, pelaku catcalling, sulit menyadari itu. Seperti disimpulkan dalam tesis di artikel ini – pula, tak terlintas dalam pikiran para pelaku catcalling – dalam hal ini para pelaku laki-laki – bahwa ketika kita melawan, yang kita lawan adalah perilaku mereka, bukan diri mereka secara personal.

Bagi mereka, catcalling adalah sekadar keisengan pengisi waktu, taktik (menyedihkan) untuk menarik perhatian lawan jenis, atau bahkan usaha untuk memuji!

If we don’t stand up for ourselves, who else will?
***

P.S. Persoalan “bagaimana seharusnya merespon catcalling” membuat otak saya berdesing selama sehari berikutnya, dan saya menemukan beberapa alternatif jawaban – mulai dari yang galak, sarkas, sampai yang lucu – via Google dengan kata kunci “catcalling respond”. Tidak semuanya bisa dilakukan dalam segala situasi, though. Bagaimanapun, keselamatan diri harus diprioritaskan.

About Putri Widi Saraswati

Dokter saat dibutuhkan, pembaca purnawaktu, penulis saat sedang tidak banyak alasan. Feminis amatir yang masih lebih banyak wacana daripada aksi. (Sedang berlatih jadi) pemikir bebas, karena liberal tidak selamanya setan.

Check Also

Kesadaran Gender

Sadar gender itu soal komitment terhadap nilai, bahwa orang tidak boleh merendahkan dan berbuat jahat …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *