Mengapa Laki-laki Harus Mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan (selanjutnya disingkat RUU PKS) muncul di Indonesia didorong oleh gerakan masyarakat sipil yang prihatin atas terus berulangnya kasus kekerasan seksual di Indonesia. Kegeraman masyarakat memuncak ketika kasus kekerasan seksual merenggut nyawa gadis belia YY (nama yang disamarkan) di Bengkulu beberapa tahun silam. Kegeraman ini sepertinya tidak mampu meredam berulangnya kasus serupa di tempat lain di Indonesia termasuk kekerasan-kekerasan yang terjadi di ranah rumah tangga. Data-data kasus kekerasan seksual di ranah domestik/privat menandakan bahwa kerentanan perempuan tidak hanya di area publik namun juga di ranah domestik.
Meskipun kasus YY sudah lebih dari cukup untuk menjadi alasan mengapa perempuan Indonesia perlu mendapatkan perlindungan dari kekerasan seksual, data-data statistik tentang kekerasan seksual di Indonesia menambah argumentasi bahwa Indonesia memang sedang dalam darurat kekerasan seksual dan negara perlu segera membuat regulasi untuk melindungi perempuan dan semua warga negara dari segala bentuk kekerasan seksual sebagai wujud penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak setiap warga negara.
Data BPS berdasarkan Survey Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHN) 2016 menunjukkan bahwa 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun di Indonesia mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dalam hidupnya. Data-data ini diperkuat data-data lain seperti data Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan tahun 2018 yang menunjukkan bahwa kekerasan seksual menempati urutan pertama kasus kekerasan terhadap perempuan pada ranah publik sebesar 76% atau 2.670 kasus. Sementara pada ranah privat kekerasan seksual menempati urutan kedua setelah kekerasan fisik yakni sebesar 31% atau 2.979 kasus.
Desakan untuk pengesahan RUU PKS ini juga didasarkan pada pandangan bahwa KUHP dinilai tidak memadai dalam menjerat kasus kasus kekerasan seksual yang modus dan praktiknya semakin kompleks. Oleh sebab itu, RUU PKS ini merupakan undang-undang khusus atas dasar pertimbangan kempleksitas dan kedaruratan kekerasan seksual di Indonesia. Sehingga RUU PKS akan memperkuat KUHP dalam memberikan perlindungan terhadap warga negara tanpa terkecuali dari tindakan yang melanggar hak-hak dasar warga negara khususnya kekerasan seksual.
Selama ini, kelompok perempuan dan gerakan perempuan menjadi motor penggerak utama bagi upaya mendesakkan RUUPKS dan karenanya RUU ini mudah disalahpahami sebagai semata kepentingan perempuan bahkan disalahpahami sebagai kepentingan perempuan pembenci laki-laki. Konsekuensinya Laki-laki merasa tidak memiliki kepentingan atas RUU ini bahkan mungkin dianggap sebagai bentuk ancaman terhadap privilese (perlakuan istimewa) yang mereka nikmati selama ini yang meletakkan laki-laki sebagai subyek seksual dan memiliki hak untuk mendapatkan layanan seksual baik dalam situasi ada atau tidak ada kerelaan dari perempuan.
Tulisan ini ingin memaparkan sedikit argumentasi bahwa laki-laki memiliki kepentingan terhadap RUU PKS dan karenanya laki-laki harus mendukung RUU PKS dengan terlibat secara aktif dalam menyuarakan RUU PKS bersama dengan kelompok dan gerakan perempuan di Indonesia.
Mengapa laki-laki memiliki kepentingan dengan RUU PKS? Pertama, Rancangan undang-undang ini dapat menjadi istrumen bagi mayoritas laki-laki bukan pelaku kekerasan seksual untuk keluar dari stigma atau cap negatif yang harus mereka tanggung sebagai akibat dari perilaku segelintir laki-laki pelaku kekerasan seksual. Cap negatif terhadap laki-laki selalu muncul pada saat kasus kekerasan seksual muncul ke publik. Laki-laki harus rela dicap otaknya ngeres, fikiran kotor, tak dapat mengendalikan hasrat seksual dan sederet cap negatif lainnya. Dengan terlibat dalam upaya mendesak RUU PKS, laki-laki dapat memberikan pesan kepada publik bahwa banyak laki-laki yang masih waras, memiliki hatinurani, dan menginginkan relasi seksual konsensual yang menyenangkan dan tidak menyakiti serta menolak segala bentuk kekerasan seksual baik di ranah privat maupun publik.
Kedua, RUU PKS ini merupakan upaya untuk memanusiakan laki-laki dan secara bersamaan memanusiakan perempuan. Dengan RUU ini laki-laki dapat belajar bahwa untuk menghindari kekerasan seksual maka laki-laki harus memastikan bahwa seluruh relasi dan aktivitas seksual mereka merupakan hubungan konsensual atau hubungan yang didasarkan pada persutujuan dan kerelaan masing-masing pihak. Karena sudah selayaknya relasi seksual dan aktivitas seksual manusia itu tidak menyakiti, menyiksa, merendahkan, mengobyekkan satu sama lain akan tetapi harus menyenangkan dan membahagiakan. Pada saat laki-laki belajar tentang konsen (consent), laki-laki juga diajak membedakan antara hasrat (desire) dan kekuasaan (power). Dorongan seksual dimiliki oleh setiap orang dan hal itu manusiawi. Namun pada saat seseorang memaksa orang lain untuk memenuhi dorongan seksual sementara orang itu tidak menginginkannya maka saat itu bukan lagi dorongan seksual yang bekerja akan tetapi kekuasaan. Karenanya kekerasan seksual baik itu pelecehan seksual maupun perkosaan pada hakekatnya bukan masalah ketidakcakapan seseorang dalam mengelola dorongan seksual akan tetapi persoalan penyalahgunaan kekuasaan (power abused).
Dengan melihat kekerasan seksual sebagai masalah kekuasaan akan memberikan basis analisis yang berbeda dari yang selama ini diyakini oleh masyarakat sekaligus memberikan tawaran alternatif penyelesaian masalah kekerasan seksual. Selama ini masyarakat percaya bahwa kekerasan seksual adalah masalah ketidakmampuan laki-laki mengelola hasrat seksual dan salah satu penyebabnya adalah rendahnya moralitas agama seseorang. Sehingga pendidikan moral dianggap cara yang dapat menyelesaiakan masalah kekerasan seksual. Namun analisis ini tidak mampu menjelaskan ketika banyak kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh tokoh agama, pendidik agama (guru atau ustadz) dan orang-orang yang dianggap memiliki pemahaman keagamaan yang memadai. Dengan menggunakan analisis bahwa kekerasan seksual adalah masalah kekuasaan maka alternatif pemecahan masalah kekerasan seksual adalah pembudayaan pola relasi yang setara adil dan anti kekerasan melalui pendidikan, pemberian pengetahuan dan kecakapan personal dan sosial kepada laki-laki dan perempuan untuk berelasi yang saling menghormati dan menghargai, serta perubahan norma sosial yang tidak lagi memberikan privilese dan kekuasaan kepada laki-laki.
Ketiga, keterlibatan laki-laki dalam mendorong RUU PKS ini akan menjadi bagian dari upaya laki-laki untuk memastikan perempuan-perempuan yang menjadi bagian penting dalam hidupnya (anak perempuan, isteri, saudara perempuan, ibu, nenek, sahabat perempuan) dan perempuan-perempuan seluruhnya mendapatkan penghormatan dan penghargaan atas integritas tubuh mereka. Oleh karena itu keterlibatan laki-laki dalam mendorong pengesahan RUU PKS adalah salah satu pengejawantahan cinta kasih laki-laki kepada perempuan.

About Nur Hasyim

peminat kajian maskulinitas, trainer dan fasilitator tentang gender, maskulinitas dan kekerasan serta ayah dari dua anak perempuan. Saat ini menjadi pengajar di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *