“To end patriarchy (another way of naming the institutionalized sexism) we need to be clear that we are all participants in perpetuating sexism until we change our minds and hearts, until we let go of sexist thought and action and replace it with feminist thought and action” (bell hook, 2000: ix)
Sekitar 6 bulan lalu, di tengah keterlinbatan saya dalam penyusunan modul forum belajar bagi para aktvis yang terlibat dalam gagasan ‘engaging men’ atau ‘laki-laki baru’ atau transformasi maskulintas untuk keadilan gender, khususnya melalui jaringan regional East and Southeast Asia Community dan Aliansi Laki-laki Baru di tingkat nasional, saya teringat lagi pada pemikiran-pemikiran reflektif Bell hook, seorang penulis feminis, tentang feminisme. Lalu, saya mulai lagi membuka Feminism is for everybody: passionate politics yang pernah saya baca bebera tahun lalu, hingga mata-hati saya tertuju pada kutipan di atas, yang menurut saya, sangat relevan dengan apa yang sedang menjadi ‘pergulatan’ pemikiran dan aktivisme saya dalam agenda keadilan gender dan hak-hak perempuan melalui inisiatif ‘engaging men’ dan transformasi maskulinitas. Apakah inisiatif di mana saya terlibat ini benar-benar demi ‘ending patriarchy and sexism’ atau justeru sebaliknya, dipenuhi hegemoni patriarkhi? Melanjutkan bacaan, saya diingatkan pada kebutuhan untuk selalu berdialog, membuka diri, mendiskusikan dan membicarakan apa yang sedang menjadi pergulatan pemikiran dan aktivisme kita…. Pikiran-pikiran itu harus menjadi pengetahuan dan pemikiran terbuka untuk kritik dan polemik. Lalu, sebagiannya, membuat saya terpikir untuk menuliskan ‘kesaksian’ dan refleksi atas apa yang sedang berkembang di Aceh, dengan maksud membuka ruang dialog dan refleksi lebih banyak, mengundang pemikiran dan pandangan lebih banyak, sehingga gagasan-gagasan itu benar-benar menjadi alat bagi terwujudunya misi ‘perang’ melawan patriarkhi dan seksisme.
***
Entah sejak kapan pastinya gagasan atau inisiatif untuk melakukan pendekatan terhadap dan konsolidasi di kalangan laki-laki untuk menjadi bagian dari perang terhadap kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan gender mulai dikembangkan. Tapi, sejauh pengetahuan saya yang mungkin keliru, sepertinya belum ada ‘pembicaraan’ sistematis terkait hal ini hingga sebuah diskusi online Solution Exchange, program lintas UN, pada awal-awal mempresentasikan tema penguatan keterlibatan laki-laki dalam keadilan gender, khususnya di Aceh, dengan Yusran Jamaah dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Aceh sebagai ‘pelempar’ isu. Diskusi itu berhasil ‘mendokumentasikan’ beberapa pengalaman dan pemikiran dari sekitar 21 aktivis atau ‘praktisi’ yang selama ini sudah terlibat lama di berbagai lembaga yang selama ini menyuarakan keadilan gender, seperti Soe Tjen Marching (SOAS), Damairia Pakpahan (Circle of Indonesia), Eva Khovivah (Kapal Perempuan), Marcia Soumokil (Burnett Institute), Ahmad Saeroni (Rifka Annisa), Syafiq Hasyim (ICIP), Faqihuddin Abdulkodir (Fahmina), Agus Saputra (CCDE), Hartoyo (Ourvoice), Iriantoni Almuna (UN Women), dan lain-lain.
Meski lalu terjadi mas vacuum, diskusi itu sedikit banyak menjadi jendela di kemudian hari, mengawali pengembangan gagasan yang lebih sistematis tentang ‘penampakan’ laki-laki dalam berbagai upaya keadilan gender dan antikekerasan terhadap perempuan, di Aceh. Beberapa ide untuk ‘melanjutkan’ hasil diskusi itu menjadi langkah lebih maju tak jarang terlontar dalam obrolan-obrolan informal dan formal di kalangan para aktivis di sana. Suatu hari, sekitar akhir Agustus 2009, Aceh ‘kedatangan’ tamu penting, orang-orang yang selama ini sudah terlibat dahulu terlibat dalam gagasan ‘penguatan’ laki-laki, yaitu James Lang dari Partners for Prevention (P4P) dan Nur Hasyim dari Rifka Annisa. Kedua berbagi informasi tentang perkembangan yang terjadi di tingkat global, regional dan nasional terkait gagasan dan inisiatif ‘pelibatan laki-laki’ (engaging men) ini. Di antaranya juga terkait ‘framework’ perubahan individual sebagai salah satu fondasi transformasi sosial untuk keadilan gender dalam kerja ‘engaging men’ ini. Saat itu, kita juga berkesempatan mempresentasikan ‘situasi dan konteks’ Aceh, baik potensi maupun tantangan, terkait penguatan laki-laki dalam agenda keadilan gender. Sebuah Joint Program yang melibatkan UN Women, UNDP, dan UNFPA berpartner dengan BKKBN Provinsi Aceh dan PULIH Aceh untuk penguatan perdamamain dengan mengintegrasikan persoalan kekerasan berbasis gender dilaksanakan di Aceh pada Juni-Desember 2009. Program ini juga ‘mulai’ memasukkan isu laki-laki, termasuk mendiskusikan akibat konflik terhadap laki-laki, ‘pemberdayaan’ para tokoh agama dan masyarakat serta pengambil kebijakan –yang didominasi laki-laki—untuk lebih terlibat mendukung agenda keadilan gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Ide-ide itu terus berkembang menjadi bahan pembicaraan yang semakin solid, hingga akhirnya beberapa aktivis secara sukarela mewujudkan sebuah forum, yaitu “Diskusi dan Deklarasi Forum Laki-laki Pendukung Keadilan Gender di Aceh” pada bulan Puasa 1430 bertepatan dengan bulan September 2009. Semangat sukarela benar-benar mewarnai pelaksanaan forum itu: Violet Grey (VG) –yang pada saat itu sedang melakukan riset tentang maskulinitas– menjadi ‘organizing committee’ dan sedekah finansial datang dari banyak indvidu aktivis, bukan saja dari Aceh, tapi juga dari luar Aceh.
Sekitar 50 orang dari berbagai lembaga yang selama ini aktivis dalam upaya-upaya pendampingan perempuan dan keadilan gender di Aceh menghadiri acara itu. Sebagai panelis pada forum diskusi adalah Ita F Nadia (UN Women) dan Yusran Jamaah (Badan PP dan PA Aceh). Keduanya menyampaikan pikiran-pikiran tentang pentingnya strategi penguatan keadilan gender dengan lebih aktif melakukan pendekatan dan pengorganisasian laki-laki. Ita Nadia juga memaparkan ‘politik maskulinitas’ ala Indonesia yang dikembangkan Orde Baru, yang melahirkan berbagai kekerasan politik, misalnya melalui operasi militer. Laki-laki sangat dibutuhkan dalam proses rekonstruksi ‘politik maskulinitas’ yang menurut Ita pengaruhnya masih kuat dirasakan hingga saat ini. Beberapa peserta forum juga memberi tanggapan positif terhadap gagasan penguatan partisipasi laki-laki, dan di antaranya, menegaskan agar proses dilanjutkan pada langkah-langkah lebih strategis sehingga tidak berhenti di ruang-ruang diskusi. Sebelum diakhiri buka bersama, para hadirin melakukan penandatangan ‘naskah’ deklarasi berisi, di antaranya, pernyataan agar keterlibatan laki-laki menjadi bagian dari agenda penguatan keadilan gender.
Setelah forum itu, komitmen di kalangan para aktivis untuk terus melakukan pendekatan dan pengorganisasian laki-laki semakin tumbuh kuat. Mulai muncul, khususnya di level individu, ketertarikan yang semakin kuat terhadap gagasan ‘engaging men’ ini; sementara, di luar Aceh, beberapa aktivis dari beberapa organisasi sedang menggodok ‘embrio’ Aliansi Laki-laki Baru (LLB). Pertemuan Bandung yang juga di tengah Puasa 2009 mengawali diskusi panjang tentang gagasan LLB di level nasional. Apa yang sedang berkembang di Aceh juga terpantau ‘radar’ yang ‘terpasang’ pada pertemuan-pertemuan di level nasional itu, terutama saat muncul diskusi tentang kebutuhan pemetaan beberapa inisiatif ‘engaging men’ di beberapa daerah. Apalagi, para aktivis di tingkat nasional itu berasal dari lembaga-lembaga perempuan seperti Rifka Annisa, Jurnal Perempuan, dan Yayasan Pulih yang sedikit-banyak sudah memiliki ‘koneksi’ dengan para aktivis dan lembaga-lembaga di Aceh. Saya sendiri lalu sering ‘diklaim’ ‘mewakili’ Forum Laki-laki Pendukung Keadilan Gender yang lalu di sana, di tingkat nasional, bahkan kemudian di tingkat regional, popular dengan Aceh Men’s Forum hadir dan terlibat di beberapa acara di tingkat nasional dan regional, bahkan pernah suatu kali, di level yang ‘lebih’ internasional. Saya sempat diundang mendaftar training male counselor bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan di Jakarta, November 2009, yang difasilitasi World Population Foundation (WPF) –sekarang WPF Rutgers–, lalu workshop penyusunan modul untuk penguatan kapasitas dalam kerja ‘engaging men’ di Phnom Penh, Maret 2010.
Masa-masa setelah event deklrasi dan diskusi di tengah Puasa itu memang seperti kembali ke masa sebelumnya, kembali pada masa vacuum, dalam arti tidak ada rencana yang terlalu solid, ‘organized’, dan ‘instutionalized’, termasuk di bawah ‘bendera’ Forum Laki-laki itu. Namun, keterlibatan saya dengan ‘bendera’ Aceh Men’s Forum –selain UN Women Aceh project office—semakin menegaskan ‘penampakan’ upaya yang sedang terjadi, meski mungkin sebatas ‘simbol’, terkait ‘engaging men.’
Sementara, di luar (proses) itu, sebuah rencana sedang digagas, yaitu penelitian kualitatif “Maskulinitas di masyarakat Aceh pasca-konflik dan pengaruhnya terhadap kekerasan terhadap perempuan” dikoordinir UN Women. Kelak, saya ingin berefleksi, penelitian ini tak sedikit menyumbang bagi ‘pengembangan’ wacana ‘engaging men’ dan maskulinitas, khususnya dalam konteks Aceh. Di awal-awal, (rencana) penelitian ini penting dalam menjaga ‘dinamika’ pengembangan gagasan yang pada ‘level’ Forum Laki-laki itu terjadi ke-vacuum-an. Rencana itu, menjaga ‘wacana’ tentang laki-laki untuk penguatan keadilan gender dan maskulinitas terus hidup di Aceh, meski dengan nafas tersengal, dan hanya di kalangan kecil, khususnya dengan PSW IAIN Ar-Raniry. Rencana itu, yang lalu terus berkembang menjadi penelitian sebenarnya, menjaga kesinambungan pengembangan wacana terebut. Apalagi, penelitian tak hanya bertujuan “menggali akar masalah kekerasan terhadap perempuan dalam masyarakat Aceh pasca-konflik” dengan menggunakan maskulinitas sebagai framework dan alat analisa, yang juga penting, penelitian ini diniatkan untuk penguatan kapasitas komunitas lokal Aceh dalam wacana maskulinitas, khususnya.
Meski secara administratif-manajerial, kegiatan penelitian ini menggandeng PSW IAIN Ar-Raniry, tak hanya akademisi dari PSW itu yang terlibat menjadi peneliti, , beberapa aktivis dari lembaga-lembaga yang selama ini terlibat aktif dalam antikekerasan berbasis gender, sehingga capacity building dalam proses penelitian ini bisa diakses lebih banyak kalangan. Kini, penelitian yang proses awalnya dimulai sejak awal 2010 itu sedang mendekati finish, dengan semangat di kalangan tim peneliti semoga, sesuai tujuan awalnya sebagai action-oriented research, temuan-temuan dalam penelitian bisa dijadikan bahan penting untuk penguatan upaya penghapusan kekerasan berbasis gender di Tanah Aceh, khususnya. Karenanya, sinergi dan keterkaitan (linkage) dengan instutusi-institusi, baik dari pemerintah maupun masyarakat sipil, yang selama ini terkait dalam implementasi berbagai upaya penghapusan kekerasan berbasis gender dan kekerasan terhadap perempuan harus menjadi bagian tak terpisahkan dari proses penelitian ini.
Bukan kebetulan! Seiring pelaksanaan kegiatan riset maskulinitas tersebut, proses di tingkat ‘Forum Laki-laki’ juga mulai dikembangkan lebih sistematis. Di bawah ‘manajemen’ Aliansi Laki-laki Baru yang mulai menjadi ‘nama resmi’ jaringan di tingkat nasional, dengan dukungan UN Women, gagasan ‘engaging men’ mendapat kesempatan untuk makin berkembang melalui upaya-upaya yang lebih terencana. Dengan berbagai pertimbangan, di antaranya karena pada tingkat nasional sudah terlibat cukup aktif, pengalaman terlibat dalam joint program di Aceh Selatan, dan ‘kekuatan’ lain, PULIH Aceh ‘dipercaya’ menjadi partner lokal dalam program pengembangan gagasan ‘engaging men’ di Aceh pada periode antara Maret hingga September 2011. Fokus program ini termasuk penguatan public awareness tentang gagasan ‘engaging men’ dan penguatan kapasitas. Pada ‘prakteknya’ berbagai proses dalam program ini menghasilkan capain-capain penting, tidak hanya dalam pengembangan gagasan ‘engaging men’ tapi, yang lebih penting, juga bagi penguatan upaya dan strategi perang melawan kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan terhadap perempuan.
Berbagai upaya penguatan public awareness melalui kegiatan, di antaranya, dialog publik dan pendekatan terhadap kelompok pelajar dengan lomba pidato tentang peran remaja dalam penghapusan kekerasan secara signifikan telah menyumbang pada terbangunnya pengetahuan di kalangan beberapa kelompok masyarakat, seperti pelajar itu tentang isu-isu gender dan hak-hak perempuan. Yang terpenting, upaya ini telah menjadi cara yang lumayan efektif untuk melakukan pendekatan terhadap para remaja, generasi muda, para pelajar dan sekolah. Mereka perlu menjadi partner kunci dalam penguatan gerakan keadilan gender, termasuk di Aceh. Kini, melalui proses ini, kita di Aceh telah ‘memiliki’ sekelompok pelajar tingkat SLTA dari berbagai sekolah, baik SMU, MA, pesantren, dan lain-lain yang potensial diberdayakan untuk menjadi bagian gerakan penghapusan kekerasan berbasis gender.
Forum-forum diskusi di kalangan para aktivis tak cuma menghasilkan Komunitas Laki-laki untuk Keadilan dan Kesetaraan Gender (KLluKG) di Aceh –yang menjadi ‘nama resmi’ forum ‘laki-laki baru’ di Aceh atau forum jaringan bagi pengembangan gagasan ini di Aceh– tapi juga telah menjadi media penting untuk penguatan pengetahuan dan perspektif dalam melawan patriarkhi dan seksisme yang menjadi sumber utama kekerasan berbasis gender. Forum-forum itu telah menjadi ruang belajar bersama (collective learning), masing-masing saling berbagi pengetahuan, mendiskusikan dan mendepatkan berbagai pikiran dan pandangan, dan ‘merencanakan’ berbagai tindakan ke depan. Fondasi prinsip-prinsip seperti kesetaraan, kebebasan berfikir, respek pada keragamaan, antidiskriminasi, toleransi nol terhadap kekerasan dibangun untuk menjaga dan mengontrol agar proses yang sedang berkembang tersebut benar-benar akan selalu dalam konteks ‘melawan’ patriarkhi dan seksisme, memberi proses ini konteks yang kuat dan tak terpisahkan dengan feminisme dan gerakan perempuan.
Kekhawatiran bahwa inisiatif yang sedang dikembangkan di Aceh, juga di Indonesia atau di level yang lebih luas, seputar ‘engaging men’ ini justeru akan menjadi lahan baru bagi dominasi laki-laki, yang akan memarjinalkan, bahkan mengisolasi, kaum perempuan dalam gerakan keadilan gender dan gerakan feminsime juga muncul di Aceh. Sangat masuk akal karena gagasan ini memang lebih sering ‘ditangkap’ sebagai melulu upaya pendekatan dan pengorganisasian laki-laki. Namun, yang terpenting, kekhawatiran tersebut perlu direspon menjadi ‘kontrol sosial’ lain agar proses-proses tersebut tidak berujung pada apa yang justeru menjadi kekhawatiran. Tentu saja, hal tersebut tak bisa diklaim, tapi perlu dibuktikan melalui konsitensi menjaga komitmen dan ‘ideologi’. Membuka ruang-ruang dialog, untuk mendebatkan dan mendialogkan segala pandangan, pikiran, pendapat, termasuk kekhawatiran-kekhawatiran itu menjadi hal tak tertawar agar proses itu bisa berujung pada misi menjadi bagian penting gerakan keadilan gender dan gerakan perempuan.
‘Mengawali’ proses sistematis ini dengan memikirkan prinsip-prinsip itu, dan menguatkannya di berbagai kesempatan, menjadi awal yang penting untuk mengawal inisiatif ini tetap pada jalur gerakan keadilan dan kesetaraan. Pilihan untuk menjadikan proses ini sebagai proses terbuka bagi semua elemen gerakan keadilan, tak hanya laki-laki tapi juga perempuan, transgender dan mereka yang memilih identitas gender dan orientasi seksual lain di bawah prinsip pluralisme dan respek pada keragaman diharapkan menjadi refleksi komitmen kita terhadap keadilan yang harus terus dikuatkan. Orientasi utama proses ini sebagai proses refleksi dan pengembangan gagasan dan ide, tidak melulu membentuk lembaga atau organisasi ‘struktural’ baru juga perlu terus dijaga agar inisiatif dan proses ini tidak terjebak pada ‘kompetisi’ memperebutkan ‘wilayah kekuasaan.’ Bagaimanapun, perlu disadari, inisiatif dan gagasan seputar ‘engaging men’ atau ‘maskulinitas’ dan sejenisnya dalam konteks keadilan gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan masih mengandung banyak debat, kontroversi alias pro dan kontra, dan berbagai persoalan yang menuntut penjelajahan intelektual dan aktivisme sangat intensif. Dan, beberapa isu penting belum ‘berkesemptan’ menjadi bahan diskusi dalam proses yang sedang dibangun dan dikembangkan di Aceh ini…
Misalnya saja, pemikiran tentang feminisme atau gerakan perempuan pasca berkembangnya gagasan ‘engaging men’ ini, yang muncul dan berkembang tentu saja bukan dalam situasi vacuum of history alias ahistoris. Kita perlu memikirkan, perlukan melakukan rekonseptualisasi feminisme atau gerakan perempuan? Apa efeknya bagi perlawanan patriarkhi dan seksisme jika kita tetap percaya, misalnya, hanya perempuan yang bisa dan boleh menjadi feminis, terutama secara idelogis? Apa efeknya pula jika kita mencoba berfikir tentang kemungkinan laki-laki tak hanya menjadi ‘pendukung’ tapi beridiologi feminisme? Apa ‘beda’ antara feminisme dengan laki-laki dengan feminisme tanpa laki-laki? Pertanyaan-pertanyaan penting yang butuh refleksi dan kontemplasi intensif bahkan filosofis…..
Refleksi atas politik gender (dan seksualitas) (gender politics) perlu terus diberi ruang, tidak hanya pada tingkat personal-individual ke arah perubahan dan penguatan diri, tapi juga pada level lembaga dan gerakan. Pertanyaan-pertanyaan terkait apa sebenarnya visi dan misi kita dalam keadilan gender dan hak-hak perempuan, apakah upaya dan strategi yang kita lakukan dalam mewujudkan visi dan misi itu benar-benar kontekstual dengan misi keadilan yang sesungguhnya, dengan misi melawan patriarkhi dan seksisme perlu menjadi bahan refleksi terus menerus. Pada akhirnya, kita berharap, proses ini akan bisa menghadirkan pikiran dan gagasan lebih ‘revolusioner’ dan progresif dalam melawan patriarkhi dan mewujudkan dunia manusia berkeadilan gender, tanpa diskriminasi, tanpa kekerasan atas dasar apapun.
Seperti sedikit disinggung di atas, inisiatif ‘engaging men’ atau maskulinitas atau ‘laki-laki baru’ sejenisnya lebih sering ditangkap sebagai melulu upaya ‘pemberdayaan dan pengorganisasian’ laki-laki untuk lebih terlibat dalam agenda keadilan gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Apakah benar hanya itu? Apa sebenarnya logical background di balik gagasan ‘engaging men’ sehingga kita menilai atau bisa membuatnya tidak hanya soal ‘pemberdayaan dan pengorganisasian’ laki-laki? Jikapun (hanya) tentang laki-laki, apa sebenarnya logikanya, terutama ‘logika feminisme’-nya? Bagaimana jika kita memahaminya sebagai ‘konsekuensi’ dari pilihan untuk lebih fokus pada pencegahan (prevention) –tindakan sebelum kekerasan dan diskriminasi itu terjadi dan ‘memakan’ korban? Karena prevensi, maka kita jadi lebih banyak fokus pada laki-laki yang selama ini ‘diseterotipekan’ melulu sebagai pelaku kekerasan berbasis gender dan kekerasan terhadap perempuan itu. Dan karena laki-laki, maka pembicaraan harus menyentuh maskulinitas (masculinities), bagaimana konstruksi sosial ini berkepentingan dan berpengaruh terhadap perilaku kekerasan dan pandangan patriarkhal dan seksis di kalangan laki-laki. Akhirnya, karena kita memercayai maskulinitas sebagai konstruksi sosial yang dipengaruhi, dan sebaliknya mendukung, patriarkhi juga sangat mungkin menghegemoni cara pandang tak hanya laki-laki, maka kita perlu memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain, semisal tentang kekerasan laki-laki terhadap laki-laki, perempuan terhadap perempuan, laki-laki terhadap transgender, transgender terhadap transgender, kekerasan oleh negara, kekerasan karena fundamentalisme agama, kekerasan karena radikalisme budaya, kekerasan akibat globalisasi, dan kekerasan lainnya, dan bagaimana kita bisa menganalisanya sebagai bagian dari ‘kerja patriarkhi’? Wacana ini menjadi benar-benar kompleks dan menuntut pergulatan pemikiran intensif….
Saat ini, gagasan “laki-laki baru” sudah semakin berkembang di tanah Aceh. Penelitian maskulinitas, baik yang dilakukan di bawah ‘koordinasi’ Violet Grey maupun PSW IAIN Ar-Raniry juga sudah selesai atau mendekati selesai. Inisiatif-inisiatif di luar itu juga mungkin mulai banyak dilakukan; sementara kita masih menghadapi banyak potensi dan tantangan dalam bekerja mewujudkan keadilan gender di sini. Bagaimana berbagai gagasan dan inisiatif khususnya dalam konteks ‘engaging men’ dan maskulinitas itu bisa menjadi bagian penguatan potensi dan menyediakan solusi bagi berbagai tantangan dalam membangun gerakan keadilan gender tersebut menjadi PR yang perlu perhatian kita semua. Tapi, tanpa prinsip dan komitmen pada keadilan, kesetaraan, kebebasan, penghargaan pada keragaman, antidiskriminasi, nol kompromi pada kekerasan, perubahan diri dan transformasi sosial mungkin saja hal-hal yang dibutuhkan itu bahkan tak terpikirkan sama sekali. Syukur Alhamdulillah, kita justeru memulai semuanya dengan membangun prinsip-prinsip itu, tinggal bagaimana kita merefleksikannya dalam kehidupan keseharian…..
Bahan Bacaan
- Bell hook, Feminism Is For Everybody: Passionate Politics, Cambridge: South End Press, 2000
- Rangkuman Hasil Diskusi (Consolidated Reply), “Encouraging Men’s Participation in Promoting Gender Equality and Women’s Rights in Aceh,” Solution Exchange, 2009 (tersedia online)
- Kerangka Acuan Diskusi dan Deklarasi “Forum Laki-laki Pendukung Keadilan Gender di Aceh,” 2009
- Forum Laki-laki Pendukung Keadilan Gender di Aceh, “Naskah Deklrasi Forum Laki-laki Pendukung Keadilan Gender di Aceh,” 2009
- Farid Muttaqin, “Toward Men’s Groups Supporting Gender Equality in Aceh: Issues and Initiatives,” powerpoint dipresentasikan di pertemuan sharing inisiatif ‘engaging men,’ Banda Aceh, 2009
- PSW IAIN Ar-Raniry, UN Women dan P4P, “Proptokol Penelitian ‘Maskulinitas di Masyarakat Aceh Pascakonflik dan Pengaruhnya terhadap Kekerasan terhadap Perempuan,’” 2010
- Aliansi Laki-laki Baru dan UN Women, Proposal “Penguatan Kapasitas Aliansi Laki-laki Baru,” 2010
- Aliansi Laki-laki Baru dan UN Women, “Draft Modul Forum Belajar Bersama Aliansi Laki-laki Baru,” 2011
- Farid Muttaqin, “Laki-laki Baru, Feminisme Baru,” tersedia online di http://www.facebook.com/note.php?note_id=471258669659
- Farid Muttaqin, “Kekerasan Berbasis Gender sebagai Kejahatan Sosial,” tersedia online di http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150119255049660