Mitos Kecantikan dan Membangun “Laki-Laki Baru”

Suatu hari seorang teman mengeluhkan gatal dan bengkak. Wajah hingga lehernya memerah. Matanya nyaris tidak terlihat karena kondisi kulit wajahnya membengkak. Ia mengalami alergi kulit. Kondisi ini ia rasakan sejak memakai obat pemutih wajah yang ramai dipakai orang waktu itu.
Ilustrasi di atas hanyalah secuil kisah suram pengalaman perempuan dalam memburu kecantikan. Simaklah, seorang model gadis remaja yang masih belia, belasan tahun, rela sedot lemak agar tampil menawan di depan kamera. Atau kisah tragis para perempuan “korban silikon”. Ongkos kecantikan pun terbilang mahal. Tak hanya menguras isi kocek dalam-dalam―misalkan biaya sekali sedot lemak antara Rp 8 juta-12 juta. Pun, resiko kesehatan akibat kesalahan teknis resikonya fatal: nyawa dipertaruhkan.
Banyak orang, terutama perempuan, berlomba meraih kecantikan. Jalannya pun beraneka. Mulai dari olahraga, diet rutin dan teratur hingga praktik-praktik kecantikan instan. Begitulah imajinasi cantik yang mengepung yang kerap membuat orang lupa diri.
Cantik memang dambaan tiap orang di segala usia. Alasannya bervariasi. “Tampil ayu adalah aset penting perempuan meraih posisi sosial, duit, juga menggaet dan mempertahankan pasangan,” tulis Nancy Etcoff dalam bukunya Survival of The Prettiest (Tempo, 2003).
Kecantikan memang telah menjadi orientasi atau bahkan obsesi tiap orang. Namun apakah kegilaan memburu kecantikan ialah motif alamiah manusia? Kebenarannya justru disangsikan. Kita hidup di abad informasi. Di mana media beserta perangkat-perangkat teknologi informasinya mendikte kita. Kapan pun itu, dimana pun kita berada. Sebagai konsumen informasi, kita pun acap kali nrimo apa adanya, kehilangan daya kritis.
Iklan sampo misalkan secara masif dan seragam menampilkan model berambut hitam lurus berderai panjang. Dari contoh kecil ini definisi serta kategori rambut yang indah telah dicatutkan. Perkara kita yang sejak dilahirkan berambut keriting atau ikal, itu berarti sudah diluar kategori cantik tersebut.
Dalam konteks ini, menukil buah nalar Foucalt, media lewat kuasa wacananya melakukan pendisiplinan tubuh. Alih-alih menekan, proyek pendisiplinan justru berlangsung pasti namun halus. Jadi apa yang kita anggap cantik bentukan media seperti langsing, kulit putih, rambut lurus dan lain sebagainya sudah menjadi kebenaran tunggal yang jarang kita gugat kesahihannya. Media menyangkal peluang keragaman soal cantik yang relatif itu.
Citra keayuan yang seragam seperti itulah yang masif digelorakan media dan industri hiburan. Lewat adegan para model-modelnya itu lambat-laun menciptakan naluri mimikri, keinginan untuk meniru apa yang dicitrakan. Cantik pun menjadi mitos modernitas, gaya hidup yang paling diburu dan digilai di pentas kehidupan.
Risiko Ideologis
Kegandrungan untuk tampil menawan tak dimungkiri mengandung risiko ideologis. Karena kategori atau ukuran cantik sadar atau tidak hampir tak pernah lepas dari kuasa dan dominasi. Para sosialita dan selebriti jika ingin tetap eksis di jagat industri hiburan sudah pasti harus merawat tubuhnya tetap tampil menawan, jika tidak kontrak dan jabatan prestisius lainnya bisa melayang.
Gaya hidup cantik yang kian mengglobal akhirnya mengarah pada fetisisme tubuh―pemujaan tubuh yang berlebihan. Tak heran, pusat-pusat perawatan dan kebugaran tubuh, semisal Marie France Bodyline, Gym, Spa, Meicy International Skin Center, London Beauty Center tak pernah sepi pengunjung. Mungkin karena itu pulalah saat ritel-ritel ekonomi raksasa lainnya menghadapi risiko gulung tikar akibat resesi ekonomi dunia, bisnis kecantikan malah tak pernah kenal resesi.
Selanjutnya, perempuan pun terperangkap dalam mitos kecantikan. Padahal, menurut seorang feminis Naomi Wolf dalam bukunya The Beauty of Myth (1991), mengatakan, mitos kecantikan tak lain ialah kontrol sosial dari budaya patriarki. Mitos ini pada akhirnya menjadi standar ganda yang membebani perempuan di ruang publik. Di dunia kerja misalkan, perempuan eksis bukan hanya semata-mata karena faktor intelegensia atau kecakapan kerja, melainkan karena bermodalkan tubuh: kecantikan.
Ibarat kor yang kompak, mitos tersebut berkelindan erat dengan wujud dan ekpansi kapitalisme global kekinian yang tak lagi berkutat pada distribusi barang dan jasa saja, melainkan telah bergeser pada apa yang disebut J.F Lyotard sebagai transaksi ekonomi libido (hasrat), sebuah sistem pendistribusian ekonomi yang merangsang, penuh bujuk rayu, kesenangan, dan kegairahan (Yasraf Amir Piliang, 2003). Dan perempuan dijadikan ikon kapital dan sensualitas pelbagai komoditi.
Tubuh perempuan pun terus terkomodifikasi. Lewat kecantikannya, baik seksual dan sensualitas, tubuh perempuan menjadi simbol persuasif jitu guna menjual aneka komoditi seperti barang olahraga, elektronik, hingga kendaraan seperti mobil. “Daya tarik erotik menjadi faktor perangsang yang cukup kuat untuk membangkitkan minat orang terhadap suatu produk,” tulis Irwan Abdullah dalam buku Sangkan Paran Gender.
Di arena inilah, pasar mewujud menjadi “institusi maskulin”. Tentu saja ideologi patriarki yang semula bermukim kuat di ranah domestik beralih ke wilayah publik―sebuah wilayah yang kerap digadang-gadang sebagai medan aktualisasi perempuan meraih kesetaraan dan keadilan yang selama ini terpinggirkan di wilayah “dapur”.
Di titik inilah satiran, Naomi Wolf, “bahwa laki-laki terus memandang perempuan dan perempuan menonton diri mereka dipandangi laki-laki” menemukan momentumnya. Pendeknya, perempuan dihadirkan tak lebih dari pernak-pernik perhiasan yang terpajang di etalase kapitalisme media. Ironisnya, sebagian perempuan justru kerap menikmati tubuhnya ditengah tarik-ulur pelbagai ideologi. Tubuh yang diharapkan sebagai medan tawar-menawar kekuasaan yang terakhir, pun tak pelak tunduk pada ruang diskursif dan pengaturan maskulin yang tentu saja amat merugikan perempuan selaku subyek mandiri.
Membangun “Laki-Laki Baru”
Adakah kemungkinan celah negosiasi bagi perempuan di tengah representasinya yang kerap diminorkan di pentas media? Ditemui di sela-sela kesibukannya, Nur Hasyim mengungkapkan bahwa, tidak mudah mengubah paradigma lama menjadi baru. Terlebih lagi soal pencitraan sosok ideal yang sering ditampilkan media.
Media, lanjut Nur Hasyim, mencitrakan perempuan ideal misalnya adalah perempuan cantik dengan postur “kutilang” (kurus, tinggi dan langsing) dan “semok” (seksi dan montok). Sedangkan laki-laki ideal itu, berbadan tegap, atletis, tinggi, macho, dan sedikit religius. Kriteria-kriteria ideal seperti itu secara masif terus ditampilkan media, sehingga tuntutan menjadi sosok ideal itu seolah sudah absah dan diterima dimana saja. Padahal itu seperti penyeragaman persepsi yang dilakukan oleh media.
Dalam pengamatan Nur Hasyim, yang akrab disapa Boim ini, media bisa dijadikan instrumen perjuangan kesetaraan gender. Namun, kendalanya juga ada.
“Media memiliki pengaruh yang luar biasa dalam membangun opini publik, tetapi disisi lain, media mainstream seperti televisi terkesan lebih mengutamakan program yang mampu meningkatkan jumlah rating dan respon publik kebanyakan saja, yang sebenarnya telah diseragamkan oleh produser-produser televisi,” ujar Manajer Divisi Men’s Program Rifka Annisa ini.
Media yang berwatak kapital dan patriarki itu menurut Boim menjadi tantangan serius bagi gerakan perempuan. Di sinilah kreativitas dan komitmen gerakan perempuan harus terus dilecutkan. Salah satunya ialah mengusung ide: membangun “laki-laki baru”. Rifka Annisa telah mengadopsi ide ini sejak tahun 2007, dan dinamai Men’s Program.
“Membangun laki-laki baru” yang di maksud Boim ialah pengembangan pandangan untuk membuat laki-laki lebih “manusiawi”, anti kekerasan terhadap perempuan serta memiliki kecakapan emosional dalam menyelesaikan masalahnya. Karena sebagian kasus, lanjut Boim, banyak laki-laki merasa terbebani dengan peran kepala keluarga yang harus mereka sandang, dan banyak kriteria “dewasa” yang harus mereka miliki, sehingga kecenderungan yang muncul adalah sikap otoriter dan dominan. Ditambah lagi, dalam banyak budaya, keputusan selalu dititikberatkan pada laki-laki.
Selanjutnya, untuk membangun “laki-laki baru” diperlukan peran aktif semua kalangan. Boim mencontohkan, negara-negara seperti India, Kamboja, Vietnam, Bangladesh, Kanada, dan beberapa negara lainnya telah mempraktikkan gerakan tersebut. Misalnya, kampanye dilakukan dengan melibatkan publik figur/pejabat, membuat film dokumenter, reality show, campus hero dengan kriteria laki-laki baru dan memiliki pemahaman lebih tentang kesetaraan gender.
“Ya, kalau Rifka Annisa bergerilya melakukan kampanye “laki-laki baru” dengan media pinggiran, TV, Radio, Poster, jaringan lain seperti sosial network misalnya facebook dan twitter dengan jumlah followers yang telah mencapai 2000-an orang“, tutur Boim yang juga Koordinator Nasional Aliansi Laki-Laki Baru dan Steering Comite Regional Leaving Community For Transforming Patriarkhal Masculinity ini.
Gagasan membangun “laki-laki baru”, bisa menjadi tema gerakan perempuan. Tema ini juga bisa menjadi penembus sekat ekslusif yang selama ini terkesan dalam gerakan perempuan. Bisa jadi laki-laki yang selama ini kerap kali bersikap sinis berhadapan dengan gagasan feminisme perlahan terkikis. Namun, membangun “laki-laki baru” harus dimediakan dengan cara-cara kreatif. Di titik inilah watak media yang bias gender selama ini pada akhirnya ramah terhadap perempuan. Semoga.
Dhita Selfhia Lingga Sari
Sumber: Rifka Media

About Redaksi ALB

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

One comment

  1. Perempuan manjadi cantik itu bukan karena wajah atau tubuhnya….tapi karena keyakinannya 'bahwa ia cantik' dan keputusannya untuk 'menjadi cantik' (nureldaya).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *