Kasus Moge di Yogya menarik banyak perhatian khalayak di seluruh negeri yang sibuk merayakan HUT RI ke 70. Yakni, konfrontasi antara rombongan pengendaraan Motor Gede di satu pihak dan di pihak lain warga yang menuntut persamaan hak dan kewajiban warga dalam berlalu-lintas di jalan, termasuk keharusan berhenti pada saat lampu lalu-lintas merah menyala.
Sebagian besar khalayak berpihak pada warga. Yang layak disimak lebih jauh adalah dasar, motivasi dan kerangka keberpihakan mereka. Sebagian besar komentar di media sosial melihat kasus itu dalam dua bingkai pemahaman.
(1) Tidak sedikit yang melihat kasus ini dalam bingkai kelas sosial. Kasus ini dianggap sebagai konfrontasi kaum kelas menengah kaya yang digugat oleh warga kelas menengah yang kurang kaya. Moge dianggap sebagai hobi mewah yang hanya bisa dinikmati kaum yang hartanya berlimpah. Di Yogya, mereka dihadang oleh warga yang menuntun sepeda, sebuah lambang kesederhanaan dan ekonomi lemah.
(2) Sebagian lain, menanggapi kasus ini dari bingkai politik: kesewenang-wenangan kaum elit yang dekat dengan pejabat negara (kepolisian) lawan kaum jelata warga sipil yang menggugat hak-hak istimewa dari kaum elit ini. Pihak polisi yang mengawal rombongan Moge hingga Kepala Kepolisian RI secara resmi dan terbuka berpihak dan membenarkan rombongan Moge. Khalayak justru bersikap sebaliknya.
(3) Yang belum saya jumpai, adalah bingkai pemahaman jender. Saya pribadi melihat kasus diatas sebagai gugatan dari masyarakat kelas menengah kota yang dikit demi sedikit semakin condong berwawasan feminis terhadap budaya maskulin yang berkuasa selama lebih dari 70 tahun usia RI (bahkan lebih dari 700 tahun masyarakat).
Moge di berbagai masyarakat dunia melambang keperkasaan pria: tubuh dan mesin motor yang kekar, suara knalpot yang bising, posisi duduk yang mirip pasukan maju tempur. Pengendaranya memakai busana yang serba kuat dan angker: jaket kulit tahan banting, dan aneka aksesori serta tatoo. Tidak sedikit klub Moge yang menggunakan tengkorak sebagai lambang klub mereka dan ini ditampilkan di kaos yang mereka pakai, atau tatoo di tubuh. Maka Moge bisa dipahami sebagai Otge (Otot Gede).
Maskulinitas tidak sama dengan pria, tetapi berkait dengan watak-watak keras kejantanan. Begitu pula feminitas tidak sama dengan orang berkelamin wanita, tetapi sifat dan sikap-sikap ramah keperempuanan. Keduanya saling melengkapi, tetapi juga bisa saling bertentangan. Setiap orang (pria dan wanita) memiliki kedua sikap dan watak tersebut dalam kadar berbeda-beda. Begitu juga sebuah masyarakat, bisa memuliakan watak-watak maskulinitasnya atau menonjolkan sikap feminitasnya.
Moge tidak hanya disukai pria. Dan tidak semua pria suka Moge. Tetapi dalam kenyataannya saat ini, mayoritas penggembar Moge terdiri dari kaum pria. Maka tidak mengherankan pula, banyak iklan Moge yang memasang produk Moge dengan wanita seksi sebagai hiasan (hal yang sama dapat dijumpai dalam promosi mobil mewah, tetapi tidak sepeda).
Gugatan terhadap Moge di Yogya minggu lalu, menurut hemat saya adalah sebuah riak kecil dari gelombang arus-balik dalam masyarakat yang menentang hegemoni maskulinitas dan patriarkhi. Dan ini tidak hanya terjadi di Yogya, tidak hanya di Indonesia.
Bukan sekedar kebetulan, dalam beberapa belas tahun belakangan perayaan HUT RI semakin lama semakin mengurangi gambar, patung, atau pawai yang menunjukkan citra “pejuang kemerdekaan” dalam sosok pria bertelanjang dada, berikat kepala merah putih dan berwajah angker dengan bambu runcing di tangan, siap menjadi martir. Mungkin ini sebabnya pula rakyat Indonesia memilih si krempeng ndeso Jokowi sebagai pemenang Pemilu Presiden RI 2014, mengalahkan saingannya yang jauh lebih maskulin.
Bagaimana menurut Anda?
Tags Gender maskulinitas Motor Gede Yogya
Check Also
Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL
Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …