Menegaskan bahwa musik dalam Tonil Laki-laki sebagai pengiring adegan panggung adalah dosa besar yang sulit diampuni. Saya katakan demikian, karena prinsip “Revolusi Perancis” yang bekerja dalam Tonil Lak-laki, pembebasan-kesetaraan-kekerabatan, mendudukkan setiap elemen panggung dan peristiwa panggung dalam kedudukan yang membebaskan, setara dan berkerabat.
Membebaskan artinya, melepaskan sekat-sekat definitif dalam pertunjukan teater konvensional yang membentuk hirarki peran dalam setiap peristiwa panggung dan yang mengurung elemen-elemen peristiwa panggung pada kekuasaan definitif-dominan. Kemapanan dan pemapanan definisi yang mendominasi, berseberangan dengan kampanye pokok yang diserukan Tonil Lak-laki tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan upaya-upaya membangun keadilan dan kesetaraan jender. Dengan adanya pembebasan serupa itu, maka setiap elemen peristiwa panggung yang subyeknya adalah manusia, akan saling setara satu sama lain sehingga terbangun relasi kekerabatan.
Prinsip dasar musik, dan secara kesuluruhan; upaya penyuaraan pesan, adalah keterdengaran. Dalam keterdengaran, ada saat berbunyi dan ada saat hening. Dalam musik, saat berbunyi dan saat hening ini diatur sedemikian rupa bersama nada untuk menghasilkan irama. Musik itu berubah menjadi lagu ketika nada itu disuarakan oleh manusia dengan cara menyanyikan syair. Lagu-lagu yang dinyanyikan sama peran dan kedudukannya dengan dialog atau monolog para tokoh dalam peristiwa panggung lainnya. Bisa jadi, dalam satu pementasan, atau dalam satu tatakelola peristiwa panggung, aktor berdialog dengan penyanyi serupa dalam opera atau, sebuah lagu perperan sebagai penyilih atas lakon. Dan, seperti yang hendak dikembangkan dalam Tonil Laki-laki, lagu adalah lakon itu sendiri serta penyanyi dan pemusik sebagaimana aktor adalah pelakon.
Selanjutnya tentu membangun relasi antara lakon aktor dan lakon pemusik. Nilai kesetaraan dan kekerabatan antarpelakon menuntut adanya pembebasan musik dari definisi musik populer yang telah direkayasa sedemikian rupa guna dan gayanya oleh industri musik sehingga ada kepiawaian bermusik yang tak berkembang dalam industri musik dan ada artikulasi bermusik yang dilebih-lebihkan pula oleh industri musik. Pelebih-lebihan atas artikulisasi ini serupa tabiatnya dengan pola kuasa dan tatakelola maskulintas terhadap nilai-nilai perempuan. Artinya, ia mendefinisikan sesuatu dan kemudian mengakui keberadaan sesuatu atas kepenuhannya terhadap definisi itu adalah praktik pengelolaan kekuasaan yang bersifat dominan (dan, adakah kekuasaan yang tidak mendominasi?). Serupa dengan definisi cantik menurut majalah mode yang definisi itu pada dasarnya tidak melekat pada pihak yang dianggap cantik.
Untuk mendudukkan lagu dan pemusik setara dengan aktor, yang paling penting adalah masalah pengelolaan nada dan cara memainkan nada yang telah dikelola tersebut; serupa dengan, teknik pengembangan naskah dan cara memerankan naskah tersebut. Masalah pengelolaan nada dan cara memainkan nada dalam Tonil Laki-laki, menurut saya, ada dua konsepsi yang harus disikapi dengan hati-hati.
Pertama, pengertian bahwa musik tidak berjender namun lewat tatakelola unsur-unsur musik, maka satu kompisisi bisa dibuat berkelamin. Jenis kelamin itu tergantung pada progresi nada dan bila berbentuk lagu, tergantung pada syairnya karena syair sangat berhubungan dengan kesadaran berbahasa menurut jenis kelamin yang menghasilkan persoalan-persoalan jender.
Kedua, musik adalah sesuatu yang berjender tapi tidak berkelamin. Secara umum, pengertian seperti ini bisa ditilik lewat siapa yang memainkannya dan untuk apa musik itu dimainkan. Misalnya, apabila sebuah lagu dimainkan untuk nembak cewek dan dari penembakan lewat lagu itu diharapkan seseorang cewek rela menyerah takluk, maka lagu itudimainkan lewat konsepsi jender tertentu sehingga lagu yang dimainkan menjadi berjender.
Pengertian kedua sifat musik ini pada dasarnya hadir dalam wilayah yang subyektif. Contohnya, “lagu Ibu Kita Kartini” adalah sebuah komposisi dengan nada yang dominan menurut kesadaran nada maskulin. Sementara, contoh lain, lagu “Syukur” adalah lagu yang memuat konsepsi nada feminin dengan progresi nada minor. Artinya dua lagu ini berkelamin namun ketika dia dinyanyikan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka kedua lagu ini, setelah dinyanyikan, telah berjender. Sebagai sebuah komposisi yang tak bersuara, kedua lagu ini berkelamin. Ketika komposisi ini dinyanyikan, dia berjender.
Menggeser dan menyilihpakaikan konsepsi berjender dan berkelamin tentang musik ini dan memainkannya, maka akan muncul prespektif; muncul kondisi siapa yang menyanyikan apa, dan siapa yang membicarakan, melihat dan mendengar apa. Pada kondisi serupa inilah terbuka saluran informasi dalam berkampanye dan juga pembangunan, pengembangan dan pelakonan karakter dalam peristiwa panggung.
Maka, serupa dengan lakon para aktor, musik para pemusik adalah saluran pesan tempat kampanye dimainkan. Lalu, estetika seperti apa yang hendak dikembangkan dalam relasi yang setara dan berkerabat yang membebaskan sekat-sekat musik dan lakon pada peristiwa panggung Lakon Laki-laki?
Menurut saya, bentuk estetikanya tidak bisa dan tidak boleh didefinisikan. Tapi yang perlu ditolak adalah penggunaan estetika-estitika industri yang sifatnya repetitif, yang mewajibkan repetisi, karena langgengnya kekuasaan maskulin, beredarnya budaya patriarki adalah lewat laku dan represi-represi kekuasaan terhadap perempuan (dan kelompok-kelompok yang dipinggirkan) yang repetitif: berulang-ulang sehingga korban tidak lagi merasakan suatu ketertindasan, baal atau tidak bisa lagi memaknai ketertindasan. Ketika estetika tidak bisa dan tidak boleh didefinisikan, tapi mental bermain bisa diarahkan dalam satu semangat; membebaskan, bersetara dan berkerabat. Atau dalam prinsip bernyanyi dalam bentuk koor, apabila kamu tidak mendengar suara penyanyi lain, berarti kamu bernyanyi dengan cara yang keliru; bila penyanyi lain tidak bisa mendengar suaranya lantaran suara kamu sangat dominan, kamu pun melakukan kekeliruan. Begitu pula dengan bernyanyi solo. Nada dan ritmkin dari instrumeno musik yang dimainkan oleh pemusik bukan untuk mengiringi penyanyi. Mereka adalah kawan seperjalanan yang memiliki tugas berlainan, tapi kedudukannya setara.
Oleh karena itu, bermusik dan bernyanyi untuk Tonil Laki-laki (sebagai sebuah diskursus seni dalam pergerakan) bukan pelaksanaan peristiwa musik dalam Indonesia Idol yang menuntut seorang vokalis harus bisa menaklukkan nada dan musik. Tidak demikian untuk sebuah seni dalam pergerakan untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan karena yang paling utama adalah moralitas menyimak.
Sampai di sini dulu. Masih ada perihal lain tentang musik sebagai lakon yang hendak saya tulis untuk Tonil Laki-laki khususnya mengenai teknik, seperti penggunaan alat musik dan penggunaan organ tubuh manusia untuk bernyanyi/melakonkan syair dan; hubungan teknik dan estetika musik dengan estetika peristiwa panggung ketika sebuah pesan hendak diperistiwapanggungkan.
Lalu, saya pun hendak membicarakan soal event-organizing Tonil Laki-laki. Untuk ini saya hendak meninjau praktik yang kerap luput diperhatikan dalam pelaksanaan kampanye-kampanye pergerakan: kemasan seni-visual dalam rekayasa bentuk pengumuman dan pemberitahuan tentang kampanye yang sama dengan musik; bisa berkelamin tapi tidak berjender dan bisa juga berjender tapi tidak berkelamin. Demikian, terima kasih.
Penulis: V Olsy Vinoli Arnof
Tags maskulinitas Seni Teater
Check Also
Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL
Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …