Nadhlatul Ulama dan Maskulinitas

Muktamar Nadhlatul Ulama (NU) ke 33 di Jombang beberapa waktu lalu begitu menarik bagi berbagai kalangan. Di antara daya tarik itu adalah tema yang diusung yakni “Islam Nusantara” atau kerap disingkat ISNUS. Terlepas dari masih adanya perdebatan konseptual atas tema tersebut, namun ISNUS terasa begitu relevan di tengah kecenderungan beragama yang simbolik, kaku, dan kental nuansa arabisasi.
Hal yang tak kalah menariknya dari muktamar tersebut adalah dinamika yang terjadi dalam proses-proses politik di arena muktamar. Tak ubahnya partai politik, sidang-sidang muktamar berjalan alot, panas, dan mengarah pada kekerasan yang kemudian media memberitakannya sebagai kegaduhan. Kegaduhan itu dipicu oleh perdebatan tentang mekanisme pemilihan Rois Am antara pendukung Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA) dan penentangnya. AHWA yang seharusnya menjadi mekanisme altenatif yang menawarkan proses politik yang lebih lembut (musyawarah mufakat) dalam mekanisme pemilihan harus melewati proses yang alot dan adu kuat, mekanisme politik yang bersebarangan dengan konsep AHWA itu sendiri.
Pada titik ini NU seperti kebanyakan organisasi-organisasi berbasis agama lainnya di Indonesia menunjukkan wajah organisasi yang maskulin yang ditandai dengan proses-proses politik yang macho yang mengedepankan prinsip kalah menang, adu urat leher, sebuah mekanisme yang dianggap tipikal laki-laki. Dalam mekanisme politik yang maskulin, memenangkan aspirasi atau kepentingan politik dilakukan dengan segala cara bahkan jika perlu dengan kekuatan fisik. Proses-proses politik yang maskulin seperti ini biasanya tidak akan selesai sampai ada yang menang secara politik (keras atau banyaknya suara) dan jika masing-masing yang berseberangan memiliki kekuatan yang berimbang tak jarang proses politik seperti ini berakhir buntu (deadlock) dan hal ini terbukti ketika perdebatan tentang AHWA gagal mencapai kesepakatan sampai kemudian K.H. Musthofa Bisri memberikan jalan tengah.
Maskulinisme di tubuh NU yang mewujud dalam proses-proses muktamar ke 33 di Jombang bukanlah hal yang aneh dan merupakan bentuk praktik perilaku organisasi yang lumrah dari sebuah organisasi “Laki-Laki”seperti NU. Saya menggolongkan NU sebagai organisasi laki-laki berdasarkan beberapa hal; pertama, secara sejarah, NU adalah organisasi yang didirikan oleh para laki-laki, para ulama yang ingin mengembalikan kebangkitan mereka. Ulama dalam konteks masyakarat pra-kemerdekaan adalah laki-laki karena laki-lakilah yang anggap memiliki kapasitas dan otoritas dalam hal ilmu keagamaan dan hal yang sama tidak berlaku untuk perempuan seperti yang pernah digugat oleh R.A. Kartini. Bahkan pandangan ini sepertinya belum bergeser meskipun kemerdekaan Indonesia telah dirayakan berpuluh kali. Jadi sejarah NU adalah sejarahnya laki-laki.
Kedua, wajah maskulin NU juga dapat dikenali dari struktur organisasinya. Dari pengurus besar (PBNU) sampai pengurus ranting mayoritas diisi oleh laki-laki. Sejauh ini saya tidak menemukan data tentangjumlah perempuan yang duduk dalam struktur NU di semua level atau tingkatan. Sebagai contoh dalam struktur PBNU periode 2010 sampai 2015 semua posisi diisi oleh laki-laki. Kalaupun ada perempuan dalam struktur NU di level Wilayah, Cabang,dan Ranting, saya yakin, jumlahnya tidak akan sampai 30 persen, ambang batas yang harus dicapai untuk kebijakan affirmasi untuk perempuan.
Ketiga, karakter NU sebagai organisasi merupakan manifestasi konsep keluarga dalam budaya patriarkhi. Jika ada bapak maka akan ada ibu dan ibu memiliki ruang yang berbeda dengan bapak. Maka sebagaimana lazimnya organisasi “laki-laki” lainnya, NU juga memiliki organisasi sayap perempuan atau yang dikenal dengan Banom (badan otonom) salah satunya adalah Muslimat NU yang mewadahi atau memberi ruang para perempuan NU. Secara tidak langsung, fenomena ini menegaskan bahwa NU bukanlah ruang untuk perempuan sehingga perempuan di tubuh NU harus membuat ruangnya sendiri.
Dari sudut pandang ini, perilaku berorganisasi jamaah dan pengurus NU yang mewujud dalam mekanisme atau proses-proses politik yang gaduh di arena muktamar adalah perwujudan dari nilai atau prinsip yang hidup dan dianut dalam organisasi laki-laki saat ini. Kita dapat melihat dalam proses pemilihan ketua beberapa organisasi di Indonesia baik organisasi mahasiswa,kepemudaan dan partai politik. Proses yang alot, panas, dan kadang dibumbui dengan kekerasan di anggap sebagai kelumrahan atau normal bahkan diberi nilai dengan menyebutnya sebagai “begitu seharusnya” atau “begitu cara laki-laki dalam meraih kekuasaan” dan seterusnya. Selain itu, cara tersebut merupakan salah satu mekanisme untuk menjaga “marwah”organisasi laki-laki yang secara tidak langsung menghalangi perempuan untuk dapat masuk ke dalamnya dengan tidak memberikan ruang bagi praktek, cara, mekanismeyang lebih “perempuan”. Tidak berlebihan jika proses-proses politik yang maskulin sejatinya adalah mekanisme pembersihan ruang laki-laki dari intervensi perempuan dan karenanya merupakan pelestarian supremasi dan dominasi laki-laki dalam organisasi keaagamaan.

About Nur Hasyim

peminat kajian maskulinitas, trainer dan fasilitator tentang gender, maskulinitas dan kekerasan serta ayah dari dua anak perempuan. Saat ini menjadi pengajar di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

2 comments

  1. Analisa yg bagus dan memberikan bukti nyata bahwa organisasi laki2 tertutup dan menampakkan organisasi laki-laki egois dlm meraih kekuasaan

  2. Kalau diluar Muktamar, lembut-lembut padahal. Seperti menggambarkan feminitas malahan kadang-kadang:)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *