“Besar, Puas, Tahan Lama”: Dialektika Maskulinitas dan Kehidupan Seksual Laki-Laki
Ingin perkasa, kuat, dan tahan lama? Datang saja ke KLINIK H. SUHENDAR. Beliau berpengalaman sejak 1970. Spesialis menambah ukuran alat vital secra alami. Membantu mengatasi masalah pasutri (pasangan suami istri, red). Atasi disfungsi seksual, ejakulasi dini, mani encer, lemah, kurang gairah, impoten.
Terapinya spontan, langsung dirasakan: besar dan panjang di tempat. Ilmu beliau tidak dijual belikan, penanganan khusus. Aman dan rahasia. ((Iklan Klinik H.Suhendar melalui www.klinikhajisuhendar.com))
Klinik H. Suhendar merupakan tempat pengobatan alternatif bagi ‘alat vital’ laki-laki dan berbagai hal yang menurut iklan diatas merupakan permasalahan yang terkait dengannya. Klinik yang awalnya bertempat di Pekayon, Bekasi, saat ini sudah memiliki 7 cabang yang terdapat di Cibinong, Tanggerang, Semarang, Solo, Surabaya, Medan, hingga Batam.
Pembukaan berbagai cabang tersebut didasari oleh banyaknya pasien yang membutuhkan pengobatan untuk mengatasi masalah yang dimiliki (klinikhajisuhendar.com, 2015). Selain melalui pengobatan alternatif, konsumsi obat-obatan kimia juga menjadi salah satu cara yang dilakukan dalam meningkatkan vitalitas dan virilitas pria. Obat yang sering menjadi pilihan ialah sidenafil atau yang lebih dikenal dengan Viagra, pil biru, atau obat kuat.
Tingginya permintaan pasar atas sidenafil, atau pil biru membuat obat ini akhirnya dipalsukan. Berdasarkan penelitian Victory Project yang dilakukan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), ditemukan bahwa 45% sildenafil yang beredar di Indonesia telah dipalsukan (Indriyani dan Maris,2013). Pada 157 gerai yang dijadikan sampel, terdapat 56% sidenafil palsu pada toko obat tidak resmi, 33% melalui penjualan disitus internet, dan 13% lainnya melalui apotek (Indriyani dan Maris,2013). Laris manis pil biru palsu ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia.
Tercatat 144 orang mengalami hypoglycemia atau gula darah menurun, 3 orang meninggal, 1 orang koma, dan 1 orang mengalami kerusakan otak akibat pil biru palsu yang beredar di Hongkong (Indriyani dan Maris,2013).
Hal serupa juga terjadi di Singapura. Beredarnya pil biru palsu di Singapura menyebabkan 150 orang mengalami hypoglycemia, 4 orang meninggal, dan 7 orang koma (Indriyani dan Maris,2013). Data tersebut menunjukkan bahwa pil biru atau obat kuat seringkali menjadi pilihan banyak laki-laki untuk meningkatkan kemampuannya dalam hubungan seksual. Demi “menjadi kuat,” efek buruk pun dikesampingkan.
“Kuat” dan tahan lama dalam melakukan hubungan seks menjadi salah satu karakteristik yang harus dipenuhi oleh laki-laki sebagaimana pandangan masyarakat pada umumnya. Jika hal ini tidak dapat terpenuhi, maka konsumsi obat kuat dapat menjadi salah satu pilihan.
Upaya laki-laki dalam memenuhi karakteristik tersebut sebenarnya tidak terlepas dari apa yang disebut oleh Connell (1987) sebagai hegemonic masculinity (Kimmel, 2005:30). Hegemonic masculinity dijelaskan oleh Connell (1987) sebagai bentuk maskulinitas dominan yang secara kultural seringkali dilihat paling bernilai dan menjadi dasar pengajaran untuk menjadi “laki-laki sejati” (Kimmel, 2005:30).
Oleh karenanya, jelas sejumlah kualitas harus dipenuhi sehingga seorang laki-laki dapat dikatakan maskulin.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa hubungan antara laki-laki, maskulinitas, dan seksualitas telah menjadi suatu yang kompleks. Kompleksitas inilah yang kemudian membuat masing-masing nilai yang diatributkan menjadi tumpang tindih dan mempengaruhi kehidupan individu, termasuk didalamnya kehidupan seksual.
Kehidupan seksual yang dimaksud ialah representasi individu makhluk seksual yang ditampilkan melalui berbagai aspek seperti perilaku seksual, dorongan seksual, hingga orientasi seksual yang dipengaruhi faktor biologis maupun konstruksi sosial dan budaya.
Latar belakang tersebut yang mendasari dilakukannya penelitian terhadap empat informan2 yakni Aris (21 tahun), Hiro (24 tahun), Iyan (21 tahun), dan Nanta (23 tahun), untuk melihat definisi maskulinitas menurut informan dan apakah maskulinitas yang dimaksud mempengaruhi seksualitasnya, khususnya hubungan seksual yang dilakukan.
Tulisan ini selanjutnya akan mencoba membahas hubungan antara laki-laki dan maskulinitas, faktor yang memengaruhi, serta pengaruh yang diberikan terhadap berbagai aspek kehidupan seksual individu.
Maskulinitas: sebuah pengantar
The Shorter Oxford English Dictionary (1973) mendeinisikan maskulin sebagai ‘having the appropriate excellence of the male sex; virile, vigorous and powerful’ yang terkait dengan sejumlah atribut, tindakan, dan produksi tertentu yang terhubung dengan jenis kelamin laki-laki karena sejumlah kualitas esensial seperti superioritas maupun kekuatan (Cornwall dan Lindisfarne, 2005:11).
Bersifat esensial merupakan pandangan umum terhadap maskulinitas yang sering dilekatkan dengan laki-laki. Bahwa menjadi maskulin dan jantan merupakan hal yang kodrati, ada dalam setiap tubuh laki-laki dan terbawa sejak lahir (Kimmel, 2005: 25). Oleh karenanya, maskulinitas selalu dilihat melalui kontras yang dibangun dengan feminitas.
Dengan kata lain, maskulinitas merupkana penolakan terhadap apa yang dianggap feminin. Penolakan yang terjadi, hadir dalam asosiasi terhadap hal-hal yang permisif yang tidak boleh dilakukan oleh laki-laki sebagaimana yang digambarkan oleh Tan (1999) dalam Walking the Tightrope: Sexual Risk and Male Sex Work in the Philippines.
Walaupun penggunaan karakteristik maskulin pada perempuan diizinkan, namun perempuan yang maskulin akan dilihat sebagai perempuan yang ‘has the qualities proper to a man’ (Cornwall dan Lindisfarne, 2005:11).
Connell (2000) menjelaskan maskulinitas sebagai suatu hal yang mengacu kepada tubuh laki-laki (secara simbolis dan tidak langsung), namun tidak ditentukan oleh biologis laki-laki. Baginya, maskulinitas merupakan “configurations of practice within gender relations, a structure that includes large-scale institutions and economic relations as well as face-to-face relationships and sexuality” (Connell, 2000:29).
Berbeda dengan Connel, maskulinitas dilihat Kimmel sebagai “a constantly changing collection of meanings that we construct through our relationships with ourselves, each other, and with our world” (Kimmel, 2005: 25). Kedua definisi maskulinitas tersebut memperlihatkan bahwa maskulinitas seringkali terkait dengan tindakan atau perilaku, bahkan hadir dalam struktur yang pada akhirnya dilembagakan. Maskulinitas sebagai sesuatu yang terus berubah sebagai suatu konstruksi budaya, mengindikasikan adanya beragam bentuk maskulinitas.
Maskulinitas terus berubah dan beragam. Keragaman maskulinitas salah satunya ditemukan melalui penelitian Hayati, Emmelin, dan Eriksson dalam “We no longer live in the old days”: a qualitative study on the role of masculinity and religion for men’s views on violence within marriage in rural Java, Indonesia.
Tulisan tersebut memperlihatkan bentuk keragaman maskulinitias dalam kaitannya dengan agama dan kekerasan seksual yang dibagi kedalam 3 kategori, yakni: tradisionalis, pragmatis, dan egalitarian (Hayati,dkk, 2014).
Keragaman maskulinitas lainnya juga diperlihatkan oleh Connell sehubungan dengan hirarki yang terbentuk antarlaki-laki. Hirarki yang ada ia jelaskan kedalam 4 bentuk maskulinitas, yakni hegemonic masculinity; complicit masculinity; marginalized masculinity; and subordinate masculinity (Connell, 2000).
Maskulinitas, sebagaimana yang dibahas Connell (1995), seringkali mengacu kepada tubuh laki-laki, walaupun hubungan maskulinitas dengan alat kelamin sebagai suatu yang biologis tidak dapat dipisahkan dalam diskursus yang berkembang.
Hal ini yang menyebabkan maskulinitas seringkali dilihat sebagai penolakan terhadap feminitas yang tidak hanya ditujukan pada perempuan, namun juga pada laki-laki homoseksual. Penolakan yang terjadi, hadir dalam asosiasi maskulinitas terhadap hal-hal yang permisif sebagaimana yang digambarkan oleh Tan (1999) dalam penelitiannya Walking the Tightrope: Sexual Risk and Male Sex Work in the Philippines.
Laki-laki melihat Maskulinitas
Keragaman bentuk dan pandangan dalam melihat maskulinitas, sebagaimana yang digambarkan oleh Connell maupun Hayati dkk, salah satunya terlihat mellaui penjabaran informan dalam pertanyaan mengenai definisi laki-laki dan maskulin.
Cowok bisa dibilang cowok itu dilihat dari penampilan, suara, gesture, sama pola pikir. (Iyan,21 tahun, 5 Juni 2015)
Cowok yang maskulin harusnya dewasa secara perilaku, tenang kalau ada masalah, bertanggung jawab, treat woman like a princess. Pokoknya attitude deh bukan fisik. Ya abis sekarang banyak cowok yang badannya bagus, ternyata belok. (Hiro, 24 tahun, 6 Juni 2015)
Maskulin itu bisa dilihat dari pola pikir yang kritis, mentalnya kuat, maksudnya mau ambil resiko. Terus nggak cengeng, bisa bersikap sesuai konteks, dan berpenampilan sesuai waktu dan tempat. Ya walaupun maskulin itu kan nggak selamanya ditunjukkan. (Nanta, 23 tahun, 5 Juni 2015)
Beda sama pandangan gue dulu yang ngeliat kalo cowo itu harus atletis,ya sekarang gue ngeliatnya ke konstruksi umum. Maskulin tuh ngomongnya tegas, gayanya nggak kemayu, berani, bertanggung jawab, dan cool aja kayak cowo sewajarnya. (Aris, 21 tahun, 6 Juni 2015)
Berdasarkan pendapat para informan, secara umum maskulinitas dapat dilihat melalui tiga hal, yakni cara berpikir, cara berperilaku, dan berpenampilan. Tidak ada indikator fisik – jenis kelamin – yang menyebabkan seseorang dapat dikatakan maskulin.
Bahkan seluruh informan mengatakan bahwa maskulinitas mungkin hadir dan dimiliki oleh perempuan. Disisi lain, perbedaan definisi masing-masing informan dalam mendefinisikan maskulinitas mendukung pendapat Connell (2000) bahwa maskulinitas tidak bersifat tunggal.
Namun, jika dicermati secara seksama, pandangan informan melihat maskulinitas diacu pada diskursus maskulinitas yang berlaku di masyarakat. hal ini terlihat melalui ujaran Aris bahwa menjadi maskulin harus sesuai dengan “cowok sewajarnya”. Dengan kata lain, ada kriteria umum yang harus dipenuhi sebagai laki-laki untuk dikatakan maskulin.
Namun, apakah kriteria umum tersebut sama pada setiap informan? Jawabannya tidak. Pembentukan kriteria ini, menurut hemat saya tidak bisa didasarkan pada satu aspek saja. Maskulinitas, sebagaimana yang dijelaskan oleh Kimmel (2005) hadir melalui konstruksi berbagai macam hubungan individu dengan aspek-aspek lain. oleh karenanya, kriteria yang hadir paa setiap informan juga dibangun melalui hubungannya dengan dirinya sendiri, masyarakat, hingga dunia.
Salah satu aspek yang kemudian berperan dalam mengkonstruksi maskulinitas salah satunya adalah aspek historis, dimana hubungan dengan diri sendiri terbangun. Hubungan individu dengan aspek historis dan konstruksi maskulinitas terlihat melalui maskulinitas yang didefinisikan oleh Nanta (23 tahun), yakni berani, bermental kuat, dan mengambil resiko.
Mengacu pada latar belakang keluarga, Nanta merupakan anak dari seorang anggota TNI. Bahkan ia selalu bermimpi untuk menjadi TNI seperti ayahnya. Oleh karena itu, ia tengah menjalani tes untuk menempuh pendidikan dalam akademi militer (akmil). Sosok ayah, dan profesi tentara, kemudian menjadi dasar bagi maskulinitas yang dimaksud oleh Nanta.
Di sisi lain, definisi maskulin yang diutarakan oleh keempat informan disampaikan melalui kontras terhadap berbagai hal yang tidak dianggap maskulin. Kontras ini digambarkan melalui gesture “yang nggak kemayu”, “nggak cengeng”, dan “treat woman like a princess”. Hal ini sejalan dengan yang katakan oleh Tan (1999) bahwa maskulinitas hadir dalam penolakannya terhadap hal-hal yang dianggap feminin.
Mengacu pada Freud, Kimmel (2005) mengatakan penolakan tersebut didasari oleh hubungan anak laki-laki dan ibunya yang berubah karena adanya sang ayah hingga teman sebaya (Kimmel, 2005:31). Penolakan yang terjadi, kemudian didasari oleh rasa takut dan kemarahan (Kimmel, 2005:32).
Maskulinitas, menurut keempat informan perlu diperlihatkan secara kasat mata melalui penampilan, tindakan, serta gesture. Dalam berpakaian misalnya, ada baju-baju tertentu yang menurut informan tidak seharusnya digunakan oleh laki-laki maskulin.
“Baju v neck dan ketat, geli gue lihatnya. Pasti gay” (Aris, 21 tahun, 6 Juni 2015)
“Ya pake baju pink sih nggak apa-apa. Tapi jangan kaos yang ketat dan v neck, kaya gay. Sama celana chino yang bawahnya dilipet trus pake sepatu yang nggak pake kaos kaki” (Hiro, 24 tahun, 6 Juni 2015)
Walaupun maskulinitas tidak selamanya ditampilkan. Performa menjadi cara yang paling mudah dalam menentukan laki-laki menjadi maskulin atau tidak. Hal ini sejalan dengan apa yang dimaksud Judith Butler (tahun), sebagai teori performativity yang membahas tentang gender.
Ia mengatakan melalui performa, manusia melahirkan identitas. Identitas yang hadir kemudian tidak semata-mata dapat berubah begitu saja (Butler). Hal ini disebabkan oleh dimensi waktu dan konteks dimana perfoma terjadi.
Pada kasus baju v neck dan kaos ketat, performa publik figur di media hingga kehidupan sosial informan, menunjukkan bahwa laki-laki yang menggunakan kriteria penampilan tersebut seringkali homoseksual.
Mengacu pada Connell (1995), hal ini dipengaruhi oleh maskulinitas yang dibangun berdasakan hubungan dua arah antara tubuh individu dan konteks sosial, dimana ada tubuh-tubuh tertentu yang dianggap sesuai dan ditetapkan sebagai individu yang maskulin (Connell, 1995:61).
Maskulinitas, sebagai sebuah performa, pada akhirnya dapat dilihat dalam kehidupan seksual, yang meliputi perilaku seks yang dilakukan serta hubungan yang dijalani dengan pasangan.
Maskulinitas dan Seks
Maskulinitas yang beragam, sebagai suatu diskursus merasuk dalam kesadaran individu. Foucault (1990) dalam “Scientia Sexualis” pada bukunya The History of Sexuality menawarkan konsep kekuasaan baru yang tidak berdasar pada dominasi kelas tertentu dalam melihat hubungannya dengan seksualitas. Oleh karenanya, kuasa yang ada terus bersaing untuk mendapatkan akses dalam pembentukan kebenaran – pengetahuan.
Maskulinitas sebagai sebuah diskursus pada akhirnya menjadi dasar pembentukan kebenaran – pengetahuan, yang diterapkan melalui tindakan. Sebagai sebuah pengetahuan, maskulinitas akhirnya memengaruhi kehidupan seksual individu, dalah hal ini laki-laki.Pengaruh diskursus maskulinitas pada kehidupan seksual digambarkan oleh penyataan informan. Perlu diingat bahwa maskulinitas yang diacu oleh tiap informan berbeda.
Hiro (24 tahun), aktif secara seksual namun tidak pernah melakukan hubungan seks dengan pacarnya. Menurutnya, virginitas merupakan yang hal sakral. Belum lagi, menurutnya banyak perempuan mengalami ketergantungan pada pasangan setelah melakukan hubungan seks. Hiro menganggap salah satu nilai maskulinitas bagi laki-laki ialah tanggung jawab. Nilai inilah yang kemudian mempengaruhi Hiro untuk tidak melakukan hubungan seks dengan pacarnya.
Hal ini ia lakukan karena ia takut tidak bisa menghadapi sikap ketergantungan sang pacar nanti. Disisi lain, rasa tanggung jawab yang sangat besar akan melekat, sehingga ketika ia bosan dalam hubungan tersebut, ia akan sulit meninggalkan kekasihnya. Menjadi tidak bertanggung jawab merupakan hal yang ia hindari.
Pada kasus Aris (21 tahun), dirinya yang mengaku “pengen banget ngeseks” berusaha menahan diri untuk tidak melakukannya. Ini didasari oleh pandangannya terhadap maskulinitas yang menempatkan laki-laki maskulin sebagai sosok yang mampu bertanggung jawab.
Menurutnya, laki-laki untuk dapat dikatakan maskulin harus bisa mempertanggung jawabkan segala perbuatan yang dilakukan (hubungan seks), termasuk didalamnya resiko kehamilan.
“nah makanya karena gue tahu gue suka itu, gue tahan. Karena gue takut ketagihan. Ya makanya gue nggak mabuk dan konsumsi obat-obatan kan. Supaya bisa tetep jaga diri gue” (Aris, 21 tahun, 6 Juni 2015 tanggal wawancara)
Bentuk pengaruh lain maskulinitas dalam kehidupan seksual dapat dilihat melalui “relasi kuasa” yang selalu dilekatkan pada laki-laki maskulin. Hegemonic masculinity pada akhirnya mempengaruhi kehidupan seksual secara khusus.
Hegemonic masculinity yang dimaksud mengacu pada penjelasan Connell (1995) sebagai bentuk maskulinitas dominan yang diangap paling bernilai; dicirikan melalu sejumlah kualitas yang hanya dapat dipenuhi oleh sedikit laki-laki untuk mencapai posisi ini.
Salah satu nilai yang melekat pada maskulinitas hegemonik dalam suatu budaya patriarkal ialah posisi laki-laki yang superior dibandingkan dengan perempuan. Walaupun masing-masing informan memiliki definisi maskulinitiasnya sendiri, pada kenyataannya hegemonic masculinity telah merasuk dalam kesadaran abstrak para informan.
Kekuasaan, terus diperlihatkan baik dalam hubungan seksual maupun keinginan terkait hubungan seksual. Hal ini dapat dilihat melalui pernyataan Nanta (23 tahun), mahasiswa yang merangkap sebagai pekerja seks.
“Ya walaupun nantinya gue dibayar sama kakak-kakak itu, pas ML gue gak mau sepenuhnya diatur sama dia. Enak aja. Ya pinter-pinter gue lah pas main biar dia mau ngikut apa mau gue” (Nanta, 23 tahun, 5 Juni 2015)
Menurutnya, walaupun ia mempekerjakan jasanya, bukan berarti ia harus sepenuhnya mengikuti keinginan sang pelanggan yang ia sebut “kakak”. Ia merasa wajib dalam menegosiasikan posisinya, bahwa ia juga harus terpuaskan.
Saat berhubungan seks baik dengan pasangan maupun dengan pelanggan, kuasa ditunjukkan Nanta melalui dirinya yang selalu meminta pasangan seksnya untuk mengatakan “please”. Kata please yang diinginkan mengindikasikan bahwa seks yang dilakukan oleh Nanta merupakan keputusannya sendiri. Bahwa, perempuan harus memohon untuk bisa mendapatkan hal tersebut.
Penggunaan hal yang verbal sebagai pengejawantahan kekuasaan juga terlihat melalui pernyataan Iyan (21 tahun). Saat melakukan hubungan seks ia cenderung untuk memaki pasangan seksualnya sehingga ia dapat terangsang. Sebagaimana yang ia nyatakan berikut ini.
“ya gue bilang misalnya, Sialan lo! Seneng kan lo gue giniin” (Iyan, 21 tahun, 5 Juni 2015)
Tidak hanya secara verbal, kuasa diejawantahkan melalui pemaksaan kehendak tertentu saat melakukan hubungan seksual. Hal ini terjadi pada kasus Hiro (24 tahun) yang hanya melakukan seks dengan pekerja seks perempuan.
Ia yang memiliki fetish perempuan dengan rambut kuncir kuda, beberapa kali meminta pekerja seks yang melayaninya untuk mengikat rambut sesuai keinginanya. Saat kegiatan seksual berlangsung pun, ia lebih suka mengatur jalannya seks.
Menurutnya, hal ini ia lakukan karena seringkali pekerja seks terburu-buru saat melakukan hubungan seksual. Menjadi menarik ketika pemaksaan kehendak bahkan terjadi sebelum hubungan seksual dilakukan. Sebagaimana yang diutarakan oleh informan.
Gue suka bokep highschool girl. Makanya kalo nanti punya istri pas ML gue bakal nyuruh dia pake seragam SMA (Aris. 21 tahun, 6 Juni 2015)
Bertolak dari berbagai kasus tersebut, pengejawantahan maskulinitas dan kekuasaan dalam hubungan seksual seringkali tidak disadari oleh informan. Pada fase ini, dapat saya katakan diskursus maskulinitas telah memasuki kesadaran abstrak individu. Di sisi lain, manifestasi maskulinitas- kekuasaan- berdasarkan data yang diperoleh, dipengaruhi oleh status dan peran.
Pada kasus Hiro, sebagai pelanggan, ia merasa berhak mengatur jalannya hubungan seks dan meminta pekerja seks untuk mengikat rambutnya. Sedangkan pada kasus Aris, ia yang menganggap dirinya sebagai suami di kemudian hari, berhak meminta istrinya untuk menggunakan kostum tertentu saat berhubungan seks. Menurut penuturannya, sang istri tidak boleh menolak hal tersebut.
‘Lebih’ dari Laki-laki lain
Kimmel (2005) pada tulisannya Masculinity as Homophobia mengemukakan bahwa upaya laki-laki untuk terlihat maskulin ditujukan untuk laki-laki lainnya (Kimmel, 2005:34). Hal ini disebabkan bahwa kejantanan laki-laki membutuhkan “a proof, and that required the acquisiton of tangible goods as evidence of success” (Kimmel, 2005:29).
Upaya untuk terlihat lebih baik dari laki-laki lainnya juga ditunjukkan melalui performa dalam hubungan seksual. Diskursus maskulinitas yang berkembang membuat banyak laki-laki percaya bahwa dirinya harus mampu memuaskan pasangannya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh informan sebagai berikut.
“Ya gue tau cewek gue puas atau enggak, pas lagi petting, pasti dari mukanya dia pas orgasme…ya gimana, seneng lah kalo bisa bikin cewek orgasme. Mukanya lucu sih” (Hiro, 24 tahun, 6 Juni 2015)
“Gue pernah ML sama cewek yang sehari tuh sama dua cowok. Pas dia lagi main sama gue, ya gue tanya aja enakan mana? Terus dia jawab enakan gue”. (Nanta, 23 tahun, 5 Juni 2015)
Pengakuan tersebut telah memperlihatkan bagaimana laki-laki membutuhkan pengakuan bahwa dirinya mampu memenuhi atribut yang dilekatkan maskulinitas, yakni mampu memberi kepuasan dalam hubungan seksual.
Kepuasan yang coba diraih, tidak sepenuhnya didasari atas pembuktiannya bagi lawan seksnya, melainkan laki-laki lainnya. Menurut Nanta, misalnya, ‘permainannya’ yang lebih baik dari laki-laki lain akan membuat pelanggannya memberikan rekomendasi kepada perempuan lain.
Dengan begitu, hal tersebut selanjutnya menjadi pembuktian bagi dirinya bahwa dalam urusan seks, dirinya mampu memenuhi kriteria maskulinitas yang ada.
Membandingkan diri untuk menjadi lebih baik dibandingkan laki-laki lainnya, terkait hubungan seksual, juga dapat dilihat melalui dua hal yakni ukuran penis dan daya tahan. Kedua hal ini lah yang dipercaya masyarakat sebagai indikator dalam melihat kejantanan laki-laki.
Upaya beberapa laki-laki dalam mencapai indikator tersebut bahkan membuat informan menggunakan magic tissue yang dipercaya membuat ereksi lebih tahan lama. Sebagaimana yang dijelaskan Kimmel (2005), maka maskulinitas jelas merupaka suatu homosocial enactment (Kimmel, 2005:33).
Bahwa kejantanan pada akhirnya ditentutan oleh persetujuan laki-laki lain, dan dievaluasi pula oleh laki-laki lainnya. Maskulinitas, kemudian menjadi karakteristik yang ada pada ruang publik, pada sebuah pasar sehingga proses tawar menawar dapat dilakukan.
Simpulan
Melalui pemaparan sebelumnya, dapat dilihat bahwa maskulinitas dimaknai secara berbeda berdasarkan konteks dan waktu. Makna yang dilekatkan dalam maskulinitas, seringkali bersifat ambigu sehingga memberikan ruang bagi individu dalam melakukan negosiasi.
Ambiguitas dalam maskulinitas disi lain juga disebabkan oleh makna yang berbeda pada setiap kebudayaan mengingat maskulinitas merupakan salah satu bentuk konstruksi sosial dan budaya. Hal ini sejalan dengan pendapat Connell (2000) bahwa masculinities imported from elsewhere are conflated with local ideas to produce new configurations.
Maskulinitas sebagaiman pemaparan diatas jelas mempengaruhi kehidupan seksual individu baik dalam melakukan hubungan seks maupun tindakannya dalam membina hubungan dengan perempuan. Termasuk di dalamnya, maskulinitas mempengaruhi pandangan laki-laki atas perempuan.
Pengaruh maskulinitas dalam kehidupan seksual disebabkan oleh beberapa hal, yakni latar belakang individu, kekuasaan, status, hingga peran. Definisi maskulinitas terus berubah seiring dengan perubahan kondisi atau konteks sosial dan politik yangs eringkali dikaitkan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Menurut Kimmel (2005), maskulinitas means different things, different time, at different world (Kimmel, 2005:25). Walaupun definisi maskulinitas tidak dimaknai secara setara oleh keseluruhan masyarakat, namun tidak dapat dipungkiri bahwa nilai maskulinitas dominan yang berkembang terus mempengaruhi kesadaran abstrak individu.
Referensi
- Connell, Raewyn. 2000 The Men and the Boys. Berkeley: University of California Press.
- Foucault, M. 1990 “Scientia Sexualis” dalam The History of Sexuality, volume I: An Introduction. London: Penguin Books, hlm. 51-73
- Kimmel, M.S. 2005 “Masculinity as Homophobia” dalam The Gender of Desire. Albany: State University of New York, hal. 25-42
- Tan, M.L. 1999 ‘Walking the Tightrope: Sexual Risk and Male Sex Work in the Philippines’ dalam P.Aggleton (ed.) Men who sell sex. London: UCL Press Limited, hlm. 241-262.