sumber: tribunnews.com

Para Patriarkh di Ujung Tahun

sumber: tribunnews.com
sumber: tribunnews.com
Tahun 2012 akan segera berakhir namun akhir tahun ini seakan ditutup dengan sebuah pertunjukan borok-borok patriarkhi dalam panggung kehidupan kita.  Aceng Fikri, Bupati Garut Jawa Barat, menjadi pelakon sempurna yang mempertontonkan wajah bopeng dari sebuah sistem sosial yang memberikan keleluasaan laki-laki untuk melakukan apa saja termasuk hal yang hanya pantas dilakukan oleh mereka yang tak layak disebut manusia.
Aceng hanya salah satu saja karena praktik serupa Aceng sejatinya terlihat gamblang, tercium busuk menyengat dan gaduh terdengar dalam masyarakat. Namun kewajaran, anggapan biasa, menjadi permakluman  maha dahsyat yang membuat seakan tawar kebusukan dan kegaduhan dari praktek-praktek para patriarkh di negeri ini.
Tidak saja mereka yang memiliki kekuasaan politik seperti Aceng, praktik serupa juga dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan “agama”, kekuasaan “budaya” . Adalah cerita yang akrab sejak dulu kala pemuka agama dapat mengawini perempuan mana saja yang mereka mau. Cerita yang sama juga sering kita dengar tokoh adat atau masyarakat dapat mempergundik perempuan mana saja yang mereka inginkan. Tentu saja keseluruhan siasat itu dibalut dengan khutbah, penyebaran mitos serta tawaran akan kehormatan yang membuat perempuan yang menjadi korban menyerah dengan “sukarela” karena meresapinya sebagai sebuah takdir (destiny).
Kecenderungan kesamaan perilaku penguasa politik, penguasa institusi keagamaan dan budaya sebagaimana diuraikan dipersatukan oleh sebuah pandangan dunia yang mengabdi kepada kepentingan laki-laki. Khutbah, mitos, janji gombal tentang kehormatan sengaja diciptakan untuk menopang kelestarian pandangan dunia tersebut dan tentu saja kelestarian dan kesinambungan keistimewaan dan kekuasaan laki-laki.
Sistem sosial yang melayani laki-laki tersebut demikian kokoh, teriakan kelompok makar terhadap sistem tersebut baik perempuan maupun laki-laki sepertinya belum mampu menggoyahkan bangunan sistem sosial tersebut. Kekokohan sistem tersebut karena terlalu banyak penopangnya entah itu individu, institusi dan tentu saja laki-laki dan yang paling celaka adalah perempuan pun tak sedikit yang memilih beramai-ramai menikmati kenikmatan semu yang ditawarkan candu patriarkhi meskipun mereka rela meruntuhkan bangunan sisterhood di antara sesama perempuan. Dalam hal memporak-porandakan sisterhood, para patriarkh adalah jagonya dan mereka sadar betul bahwa penghancuran sisterhood adalah strategi jitu untuk tetap mencecap madu patriarkhi.
Ketika semakin gamblang bahwa sistem sosial yang memberikan keistimewaan dan kekuasaan kepada laki-laki telah membunuh kemanusiaan perempuan dan laki-laki, maka tidak ada pilihan lain gerakan makar terhadap sistem tersebut tak boleh surut. Generasi baru laki-laki yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan harus semakin lantang berteriak kepada laki-laki lain bawa perilaku menindas laki-laki terhadap perempuan adalah tindakan merendahkan martabat kemanusiaan laki-laki.
Yang tak kalah pentingnya adalah mendorong perempuan untuk kembali merajut sisterhood yang telah diluluh-lantakkan patriarkhi, karena hanya dengan sisterhood yang kuat patriarkhi dapat ditransformasi.

About Nur Hasyim

peminat kajian maskulinitas, trainer dan fasilitator tentang gender, maskulinitas dan kekerasan serta ayah dari dua anak perempuan. Saat ini menjadi pengajar di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *