Refleksi tentang CATAHU Komnas Perempuan Tahun 2014

Tahun 2014, Perempuan Masih Rentan Mengalami Kekerasan di Semua Sektor Kehidupan

Saya ingin memberi sedikit refleksi tentang Catatan Tahunan Komnas Perempuan atau biasa disingkat sebagai CATAHU Komnas Perempuan. Hari ini adalah peluncuran CATAHU tahun 2014 sejumlah pengaduan, informasi, proses dan keputusan pengadilan, kebijakan-kebijakan lama dan baru yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan, yang dihimpun dan diolah selama tahun tersebut dan hasilnya diterbitkan di tahun 2015 dengan judul“Kekerasan Terhadap Perempuan: Negara Segera Putus Impunitas Pelaku.”.
CATAHU adalah salah satu produk yang merepresentasikan mandat Komnas Perempuan, yang berisi pemantauan, penelitian, dan analisa yang banyak ditunggu oleh banyak kalangan, sebagai suatu produk yang menjadi pijakan tentang gambaran umum fakta kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. CATAHU adalah catatan kerja dari sekian banyak orang yang memiliki komitmen, baik di dalam tubuh Komnas Perempuan yaitu para komisioner dan badan pekerja, maupun mitranya yang terdiri dari institusi negara yang melayani pendampingan dan pelayanan korban, lembaga pengadilan, dan tentu saja LSM.
Ketika membacanya, banyak hal-hal yang ditemukan Komnas Perempuan yang bagi saya sangat unik –baik saat disajikan secara kuantitatif maupun kualitatif. Temuan-temuan yang selama ini tidak terbayangkan oleh banyak kalangan bahkan yang ekspert gender sekalipun, apalagi kalangan umum. Temuan dasar dan general berupa kasus-kasus yang terpencar di beberapa bagian wilayah Indonesia, pengaduan-pengaduan yang datang ke Komnas Perempuan, dan catatan dan keputusan-keputusan pengadilan. Gugat cerai semakin banyak jumlahnya dilakukan oleh para istri, yang bagi mereka sebagai salah satu PINTU paling aman untuk keluar dari kekerasan dalam rumah tangga, ketimbang memenjarakan suami. Banyak kasus-kasus perceraian yang tinggi angkanya tersebut, memiliki cerita paling rahasia yang dipendam sang penggugat cerai, yaitu para istri. Rahasia-rahasia tentang pemukulan, penganiayaan, penelantaran, poligami, perkosaan, dan lain sebagainya.
Apa yang disajikan tentu saja tidak bisa ditarik pada kesimpulan yang tunggal. Sebagaimana analisis sosial, ditambah analisis gender dan perspektif khusus tentang pengalaman perempuan, kesimpulan akan terus berlapis dan bertumbuh. Kita akan menemukan kekerasan dalam bentuk baru ataupun keadilan terhadap korban yang perlu dipahami dengan sangat baru. Harapannya adalah dari analisis dan temuan fakta-fakta kekerasan tersebut, NEGARA akan mudah melakukan penanganan, pencegahan, bahkan pemulihan. Tentu saja pada akhirnya tidak hanya negara, tetapi kesadaran yang hadir secara alami dari masyarakat untuk ikut menghentikan sikap dan tindakan yang rentan menciptakan kekerasan terhadap perempuan.
Apa yang disebut kekerasan terhadap perempuan, adalah hal yang begitu luas dan dalam, maka dengan demikian, wacana tentang keadilan untuk perempuan, akan juga sangat luas dan dalam. CATAHU berhasil menguliti fakta-fakta dengan sangat baik. Dibalik kelemahan dan kelebihan instrumen pengolahan CATAHU ini, –dimana tentu saja Komnas Perempuan akan terus menerus melakukan perbaikan –adalah masih sangat-sangat diperlukan dan menjadi garda terdepan.
Tahun 2014, Komnas Perempuan mencatat, kehidupan perempuan mendapatkan banyak sekali kerentanan di berbagai sektor, baik domestik maupun publik, dan kerentanan tersebut terjadi dalam bentuk kekerasan yang sering disebut sebagai Kekerasan terhadap Perempuan (KtP). Dalam bidang politik dalam Pemilu tahun 2014 misalnya, meskipun keterwakilan politik dalam penyelenggaraan Pemilu sudah diberlakukan, ternyata masih ada intimidasi terhadap calon legislatif perempuan di Aceh serta Nusa Tenggara Timur, serta pencurian suara caleg legislatif perempuan di Papua. Atas hal tersebut Komnas Perempuan menyelenggarakan Penandatanganan Manifesto Politik yang ditujukan kepada Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla.
Dalam kehidupan pribadi, perempuan yang mengalami kekerasan paling sulit mendapatkan keadilan. Seperti banyaknya kasus kekerasan seksual, bahkan ketika korban yang mencari keadilan, masih harus berjuang untuk membuktikan apa yang dialaminya. Seperti yang terjadi pada seorang difabel yang diperkosa dan pelaku mengingkarinya, tes DNA sangat diperlukan dan tentu saja seharusnya tidak dipungut bayaran, Komnas Perempuan melihat hal ini dan meminta Kementerian Kesehatan RI untuk menjadikannya gratis dan ternyata dapat dipenuhi. Selain itu, tidak mudah meyakinkan masyarakat bahwa perkosaan pada kenyataannya bukan dilakukan oleh orang yang tidak dikenal, melainkan oleh orang terdekat. Seperti kasus Sitok Srengenge, karena korban memiliki kedekatan dengan Sitok, maka dengan serta merta dianggap korban tidak sedang dalam keadaan tidak berdaya sehingga tindakan Sitok hanya dicatat sebagai tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan. Belum lagi aksi-aksi main hakim sendiri terhadap tuduhan berzina sering membuat perempuan mengalami kekerasan seksual yang keji seperti yang dilakukan oleh masyarakat di Gampong Lhok Bani Kota Langsa, Aceh. Seorang janda dituduh membawa masuk lelaki lain yang sudah beristri, dan delapan pemuda menyeret janda tersebut dan diperkosa secara bergiliran.
Atas hal ini Komnas Perempuan mengingatkan kepada pemerintah daerah berkaitan dengan peraturan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan, bahwa Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memandatkan pemerintah daerah setempat memastikan perlindungan bagi perempuan. Sebagai turunannya, peraturan daerah Aceh tentang Perlindungan Perempuan (Qanun No. 6 Tahun 2009). Kekerasan seksual juga banyak dilakukan oleh banyak tokoh maupun pejabat publik dan diantaranya sebagai pelaku kejahatan perkawinan. Diantaranya adalah seorang Raja Solo, tokoh agama, pejabat publik di parlemen, dan lain sebagainya.
Dalam hal Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), ada catatan khusus yang terlihat bahwa seorang istri yang justru adalah korban KDRT dan usianya masih 17 tahun sudah menikah — mengalami kriminalisasi sebagai pelaku kekerasan, akibat pemahaman peran domestik yang masih patriarkis, dimana istri yang ingin melanjutkan pendidikan dianggap menelantarkan rumah tangga.
Dalam hal ketenagakerjaan, kekerasan terhadap buruh migran dan pekerja rumah tangga masih terjadi, dan diantaranya menjadi bagian dari persoalan jaringan perdagangan manusia. Kasus Polisi Rudi Soik yang membongkar jaringan perdagangan perempuan misalnya, awalnya membuka optimisme kami, tetapi lagi-lagi orang seperti ini malah mengalami kriminalisasi, Rudi Soik malah ditangkap. Hal lainnya adalah bagaimana wilayah-wilayah konflik politik termasuk diantaranya konflik sumber daya alam, perempuan masih menerima dampak kekerasan termasuk seperti dampak perang antar kelompok suku Mimika Papua, seorang Ibu ditebas payudaranya.
Namun tidak hanya hal-hal buruk yang dicatat Komnas Perempuan. Tahun 2014 Komnas Perempuan juga mencatat tentang terobosan hukum yang dilakukan negara dalam upaya mendukung penghapusan kekerasan terhadap perempuan, dan bagaimana perempuan korban mudah mengakses dan mencapai keadilan, tetapi dari kemajuan tersebut, masih banyak yang berhenti di jalan seperti peraturan-peraturan diskriminatif yang telah dicatat Komnas Perempuan sejak tahun 2009 belum ada satupun yang dibatalkan, dan kini jumlahnya bertambah.
Dimanakah keadilan bagi korban kekerasan yang dialami perempuan? Bagaimana mencapainya? Pertama-tama adalah, mengenali bentuk kekerasan, memahaminya, melihat sebab dan dampaknya, dan paling utama lagi adalah, menemukan kunci masalah bahwa ketidakadilan dalam hal kekerasan itu akibat ketimpangan gender, akibat banyak mitos dan peran-peran yang dikontruksi secara sosial dimana perempuan masih ditempatkan di bawah. Seperti istri-istri yang ingin melanjutkan sekolah dan bekerja masih dianggap menelantarkan rumah tangga. Perempuan yang berduaan dengan laki-laki dihakimi atas tuduhan berzina, diserbu, diseret, dan tidak sedikit dari mereka malah diperkosa oleh penangkapnya. Pekerja rumah tangga dijadikan budak. Tenaga kerja migrant diperas, ditelantarkan di negeri orang dan tidak bisa pulang kembali ke kampung halamannya. Perempuan yang diperkosa masih dianggap sebagai kesalahannya.
Demikian catatan-demi catatan, berharap akan berdampak pada kemauan semua pihak terutama negara, melakukan sesuatu untuk menghentikannya.

About Mariana Amiruddin

Salah satu pendiri Aliansi Laki-laki Baru. Saat ini menjabat sebagai komisioner Komisi Nasional Perempuan.

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *