Meski informasi kemungkinan saya akan berangkat ke Amerika (lagi) untuk kembali kuliah pada awal-awal tahun 2012 saya terima sekitar bulan Oktober 2011, tapi kepastian saya akan benar-benar berangkat baru saya terima satu malam sebelum saya memulai perjalanan panjang ini –bukan sekedar perjalanan Jakarta-Binghamton, NY, tapi bisa jadi perjalanan hidup (life journey). Malam itu, tepatnya dini hari, setelah jam 00:00 saya membuka email dan menemukan salah satu surat elektronik tentang itinerary keberangkatan saya, yang tertera di sana salah satunya bahwa saya akan ‘terbang’ dari Jakarta ke Changi, Singapura jam 19:50, otak saya dipenuhi pikiran tentang ‘situasi harus meninggalkan keluarga, terutama isteri dan si kecil Allegra.’ Bahkan, saya tidak terlalu panik meski saya masih belum punya informasi jelas soal housing, jemputan, atau hal-hal menyangkut kuliah. Karena ini perjalanan kedua saya untuk kuliah ke Amerika, soal-soal di Amerika itu lebih bisa terkontrol dan tidak terlalu membuat khawatir. Tapi, inilah pengalaman pertama pergi jauh dan lama dengan meninggalkan isteri dan si kecil Allegra yang baru 7 bulan itu.
***
Saat di madrasah dan pesantren, salah satu pelajaran paling popular yang saya dapatkan adalah thalabul ilmi alias mencari ilmu atau pergi bersekolah merupakan salah satu bentuk jihad fi sabilillah (berjuang di jalan Tuhan) dengan balasan pahala atasnya yang sungguh melimpah; para pencari ilmu ibarat tentara Tuhan (jundullah) yang jika mati bisa syahid yang langsung berbalas surga. Saya tentu saja percaya hal tersebut, karena pencari ilmu (knowledge seeker) adalah para tentara yang sedang berjuang melawan salah satu musuh utama agama, yaitu kebodohan (al-jahiliyyah) –yang membuat kita sering tak bisa membedakan kebenaran dan kejahatan. Pelajaran dari madrasah dan pesantren ini, yang saya dapat puluhan tahun lalu, kembali teringat saat-saat menjelang keberangkatan saya kembali bersekolah di Amerika, bahkan hingga kini, setelah dua hari tiba di kota Binghamton, New York, tempat kampus State University of New York (SUNY) at Binghamton yang juga dikenal dengan Binghamton University, sekolah saya sekarang. Bahwa, dengan kembali memtuskan bersekolah, saya merasa sedang menjalani tugas jihad itu.
Tapi, sebuah pertanyaan muncul. Siapakah yang sesungguhnya sedang berjihad saat saya memtuskan bersekolah itu, minimal saat ini, saat isteri dan si kecil yang masih butuh ‘perawatan’ ekstra ditinggal di sana, belum ikut serta?
Saya terbayang, betapa isteri saya akan sangat repot menjadi seorang single parent. Saya tahu benar, 24 jam tiap hari waktunya akan habis buat ‘mengurus’ si kecil Allegra, yang sudah mulai tumbuh-berkembang perasaan-perasaannya dan sifat kemanusiaannya yang lain. Tiap 2-3 jam harus memberinya susu; dua kali sehari menyiapkan bubur dan mengajarinya makan; membersihkan bekas buang air dan mengganti diapers tak bisa diduga berapa kali sehari; bermain, mengajaknya berkomunikasi, menyediakan berbagai pelajaran, membacakan cerita, menyanyi, mengajaknya berenang, dan lain-lain juga harus dilakukannya. Sementara, kebutuhan sendiripun menunggu. Belum lagi berbagai urusan yang saya tinggal karena tak sempat dilakukan.
Dalam kondisi seperti itu, siapakah sesungguhnya yang sedang berjihad?
Ketika saya menulis sebuah status di akun Facebook bahwa “I may get US visa very soon but doesn’t want to leave his family; will really fly without wings; who said life is a choice?” banyak dukungan yang sangat penting ditujukan untuk saya, dan membuat saya “memiliki satu sayap untuk bisa kuat terbang.” Tapi, saat itu, saya teringat isteri saya –yang selama ini, baik secara teori maupun praktis, menjadi salah satu guru awal saya mengenal gerakan perempuan dan feminisme—yang akan menjalani hidup penuh tuntutan kerja keras fisik dan psikologis terutama untuk mengurus dan merawat anugerah kehidupan kami, Allegra. Lalu, saya lebih percaya, dialah yang sesungguhnya sedang menjalani jihad itu.
Sebagai laki-laki, tentu saya bisa pergi meninggalkan keluarga bebas dari beban stereotipe sosial, bahwa saya tidak akan dicap sebagi seseorang yang tak bertanggungjawab karena membiarkan isteri merawat sendiri anak kami. Kita pasti sudah membayangkan jika yang kebetulan harus pergi adalah isteri saya, membiarkan saya merawat si kecil dari A sampai Z. Ketika kenyataannya saya yang pergi dan isteri saya tetap tinggal bersama berbagai kegiatan dan urusan dalam merawat si kecil sendiri, bayang-bayang stereotip sosial yang pasti sungguh tidak adil itupun tetap menghantuinya. Atas dasar pandangan sosial yang sungguh hegemonik bahwa semua itu adalah tugas bahkan kewajiban seorang isteri, maka dia tak boleh complain, dan tak boleh gagal juga. Sementara, sebagai laki-laki, ketika saya ‘tidak sukses menjalani kuliah dengan alasan tidak bisa konsentrasi karena hidup sendiri tak bersama keluarga’ saya pasti akan banyak mendapat simpati sosial. Kembali, siapakah sesungguhnya yang berjihad dan pantas mendapat balasan pahala sebesar para martir?
Tulisan ini tentu bukan tulisan tentang jihad dan hitung-hitungan pahala dan surga. Tapi, tentang konstruksi gender yang seringkali tidak adil terhadap perempuan, terutama terkait tugas domestik dan ruang gerak sosial. Jika kita sama-sama percaya ada ketidakadilan dalam konstruksi sosial ini, semoga catatan kecil ini bermanfaat untuk sekedar membuat kita ingin mengubahnya.
Binghamton, New York, 29 Januari 2012
Tags jihad kekerasan terhadap perempuan madrasah pengetahuan
Check Also
LAKI-LAKI YANG “DILATIH” MEMPERKOSA
LAKI-LAKI YANG “DILATIH” MEMPERKOSA Oleh: Nur Hasyim (Co-Founder Aliansi Laki-Laki Baru, Direktur C-PolSis FISIP …
Refleksi yang menyentuh dan inspiratif. Semoga dengan tulisan ini, banyak laki-laki yang mempunyai kesadaran seperti ini.
Tulisannya Inspiratif. Hidup itu pilihan, dan baiknya kedua belah pihak, pria dan wanita, saling mendukung. Karena dengan itulah keseimbangan hidup tercapai. 🙂
Semoga bisa cepat kembali ke sini dan berkumpul bersama keluarga. Ceritanya menginspirasi saya dan semoga juga suami saya 🙂