Salah satu pengalaman menyenangkan ketika ke Turki adalah bertemu dengan para laki-laki di forum feminis. Eits, bukan karena mereka tampan-tampan, ¬gentleman, dan baik hati. Meski tiga kata sifat tersebut memang melekat pada mereka. Tapai hal pentingnya adalah rasanya menyenangkan bertemu dengan para pria yang benar-benar memahami perempuan. Memahami perempuan yang aku maksud bukan dalam konteks tahu bagaimana cara memperlakukan perempuan. Tapi paham mengenai bagaimana situasi perempuan di tengah relasi kuasa yang timpang, paham se-clear-clear nya bahwa perempuan harus keluar dari situasi tersebut, dan bahkan ikut memperjuangkannya.
Bagiku sulit untuk menemukan pria dengan perspektif dan pemahaman tersebut di Indonesia. Aku sendiri punya banyak kawan pria. Banyak di antara mereka yang bisa satu paham dan berjuang bareng untuk isu-isu lainnya. Tapi untuk isu perempuan, sangat sedikit di antara mereka yang benar-benar paham. Bahkan, yang berlabel aktivis HAM pun seringkali terkungkung dalam pemikiran patriarkis dan feodal. (Ah ya, sekedar mengingatkan saja, sebenarnya hal itu tidak terjadi pada pria saja, tapi juga tidak semua perempuan berpespektif feminis).
Beberapa pria mengartikan feminis hanya sebatas perempuan bisa sekolah, atau perempuan bisa jadi presiden. Pada satu momen tertentu, seorang pria yang mendengar tentang perjuangan perempuan melawan diskriminasi berkata, “Perempuan mau apa lagi si? Jadi wanita karier udah, jadi menteri udah, jadi presiden juga udah.” Pernyataan yang justru menunjukan bahwa ia sama sekali tidak mengerti tentang feminisme dan perjuangan perempuan.
Contoh yang paling aku sukai adalah bagaimana relasi antara suami-istri. Kalau kamu merasa feminis dengan mengizinka istri kamu bekerja dan memiliki karier, itu sebenarnya tidak cukup. Coba kamu pikirkan, apakah suatu saat, ketika istrimu hendak mewujudkan cita-citanya, dan membutuhkan dukunganmu kamu akan siap? Lagi-lagi dukungan itu tentu saja bukan sekedar izin, tapi bagaimana kamu juga bisa mendukung dan mem-backup dia termasuk dalam tugas rumah tangga. Ketika istrimu mendapatkan kesempatan untuk meraih cita-cita besarnya, sementara dia membutuhkan dukungan penuh untuk itu, dan kalian memiliki si kecil yang membutuhkan perhatian dan perlakukan intens. Apakah kamu siap berhenti bekerja, untuk mengurus si kecil dan rumah tangga, agar istrimu leluasa mengejar cita-citanya?
Kenapa? Karena tugas serta peran untuk mendampingi, mendidik, dan mengurus anak bukan hanya ada pada perempuan. Kalau selama ini yang seringkali terjadi, perempuanlah yang selama ini berkompromi, dan mengorbankan cita-citanya agar bisa total mengurus si kecil sehingga suaminya bisa meraih cita-cita. Well, selama itu dilakukan berdasarkan kesadaran dan pilihan, aku sama sekali tak memiliki masalah dengan hal tersebut. Tapi poinku adalah, bagaimana kalau situasinya dibalik? Karena hak untuk memiliki cita-cita besar, dan mendapatkan dukungan penuh dari pasangannya juga merupakan hak perempuan.
Jangan bicara lagi soal pembagian tugas yang dibekukan melalui budaya. Aku sepakat, bahwa harus ada pembagian tugas antara suami dan istri. Tapi pembagian tersebut bukan sekedar suami di ranah publik, dan istri di ranah domestik atau rumah tangga. Kedua belah pihak berhak untuk memutuskan apapun, dan kesepakatan ada di tangan mereka. Persoalannya, berapa orang yang bisa keluar dari paradigma budaya yang mengotak-ngotakan peran perempuan dan laki-laki hingga membatasi pilihan kita? Mampukah kita membongkar paradigma kita bahwa laki-laki juga berhak ada di dapur?
Aku punya contoh yang lain lagi. Ketika suami istri keduanya bekerja, maka memang si istri memiliki peran publik. Tapi dalam beberapa kasus, peran domestik pun dibebankan sepenuhnya kepada si istri. Bekerja, mengurus anak dan rumah tangga, tanpa ada bantuan si suami di urusan domestik. Contoh yang satu ini namanya multibeban bagi perempuan. Tak bisakah kita berbagi tugas juga untuk mengurus urusan domestik. Bukan sekedar karena (misalnya) gaji istri lebih besar dari gaji suami. Tapi lagi-lagi karena kesadaran, bahwa pembagian tugas sejatinya adalah berdasarkan kesadaran dan pilihan kita bersama.
Melihat yang sehari-hari terjadi, termasuk berbagai perdebatan dengan beberapa kawan priaku, membuatku berpikir, rasanya sulit menemukan pria yang benar-benar memahami perempuan. Karena itu, ketika bertemu para pria di sebuah ajang bertajuk Feminist Technology Exchange, membuatku berpikir, masih ada harapan, bahwa ada beberapa pria yang benar-benar memahami perempuan di dunia ini.
Ohya, satu hal yang perlu aku tekankan, tulisan ini sama sekali bukan hendak mengatakan bahwa ke depan laki-laki harus di dapur, sementara perempuan mengejar cita-cita besar. Karena feminisme tidak menghendaki diskriminasi berbalik kepada pria. Kuncinya, bagaimana kita melakukan duduk bersama, sejajar, dan menyepakati serta menyusun rencana bersama pula. Dan sekali lagi, ketikapun si istri memilih untuk tidak bekerja, dan mengambil peran domestik saja, itu tetap pilihan yang harus dihargai. Kuncinya adalah kesadaran dan pilihan. Sesederhana itu.
Penulis: Dinda Nuurannisaa Yura, Organizer One Billion Rising Indonesia
Sumber: http://dindanuurannisaayura.wordpress.com
Tags Domestik feminis Laki-laki pelibatan laki-laki
Check Also
LAKI-LAKI YANG “DILATIH” MEMPERKOSA
LAKI-LAKI YANG “DILATIH” MEMPERKOSA Oleh: Nur Hasyim (Co-Founder Aliansi Laki-Laki Baru, Direktur C-PolSis FISIP …