Okezone.com/Dede Kurniawan

Memenangkan Wacana "Kelelakian", Memenangkan Pemilu

Beberapa waktu lalu, media-media di Indonesia merilis berita photo kandidat presiden yang sedang menunggang kuda dengan keris dipinggang menyapa ribuan massa yang memadati stadion terbesar di negeri ini. Dalam orasinya, sang kandidat menekankan akan pentingnya seorang pemimpin yang tegas, tidak mencla-mencle, dan bukan pemimpin boneka. Pada kesempatan lain, kandidat yang sama menegaskan bahwa negeri ini membutuhkan pemimpin berwatak singa dan bukan pemimpin bermental kambing. Bernada sama, salah satu petinggi partai pengusung kandidat presiden tersebut menulis puisi yang menyindir kandidat presiden lainnya sebagai ikan kecil kerempeng yang nampak elok dan memikat dalam akurium namun ikan kerempeng itu akan menjadi santapan ikan-ikan besar di lautan.
Pertunjukan yang disajikan salah satu kandidat presiden dan partai politiknya tersebut mengingatkan kita akan konsep-konsep laki-laki dalam tradisi Jawa. Dan sepertinya simbol-simbol laki-laki jawa tersebut dieksploitasi secara literal dan sengaja digunakan untuk membangun citra superior atas kandidat lain. Budaya jawa menggambarkan laki-laki atau satria dengan beberapa simbol; pertama, wisma, untuk disebut satria laki-laki harus memiliki rumah sebagai tempat beranjak dan kembali. Rumahlah yang membedakan laki-laki sejati dengan gelandangan. Kedua, turangga, kuda atau kendaraan memungkinkan laki-laki memiliki mobilitas, tanpa kendaraan laki-laki tidak akan ke mana-mana. Ketiga, wanita, tanpa wanita laki-laki akan menyalahi kodratnya. Keempat, kukila, burung yang melambangkan keindahan sekaligus sebagai klangenan atau hobi untuk memenuhi kepuasan batin laki-laki. Terakhir, curiga atau keris yang melambangkan senjata laki-laki untuk mempertahankan diri.
Tidak saja untuk membangun citra superior atas kandidat presiden lainnya, penggunaan simbol-simbol maskulinitas tradisional tersebut juga merupakan strategi untuk merendahkan, meremehkan, dan menjatuhkan kandidat lain dengan menciptakan citra sebaliknya. Seperti penggambaran kandidat lain dengan mencla-mencle sebagai lawan ketegasan, bermental kambing sebagai lawan dari singa, boneka sebagai lawan kemandirian, ikan kecil yang elok sebagai lawan dari ikan pemangsa. Cara seperti ini lazim digunakan laki-laki untuk merendahkan laki-laki lain seperti penggunaan istilah banci untuk menyebut laki-laki yang cengeng, penakut, dan keperempuan-perempuanan.
Implikasi politik
Eksploitasi simbol-simbol maskulinitas tradisional untuk kepentingan mendulang suara hanya akan efektif untuk para pemilih laki-laki atau perempuan yang masih menganut atau mempercayai nilai-nilai maskulinitas yang mengidentikkan laki-laki dengan kekuatan fisik (yang disimbolkan dengan kuda, singa atau ikan-ikan predator), keberanian, ketegasan, dan bahkan kekerasan. Seperti halnya iklan sebuah produk, ia akan efektif jika sejalan dengan norma-norma yang berlaku atau imajinasi masyarakatnya.
Penggunaan simbol-simbol tersebut juga hanya akan efektif untuk pemilih laki-laki yang sedang mengalami apa yang disebut Susan Faludi, jurnalis-feminis Amerika dalam bukunya Stiffed (1999), mengalami krisis identitas karena kehilangan peran tradisional mereka sebagai akibat kegagalan beradaptasi dengan perubahan sosial yang mengarah kepada kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan. Karena penggunaan simbol-simbol maskulinitas tradisional tersebut mewakili kepentingan mereka serta memfasilitasi pemenuhan hasrat untuk merebut kembali supremasi laki-laki atas perempuan.
Namun, penggunaan simbol-simbol tersebut dapat menjadi bumerang karena mengabaikan pergeseran di masyarakat terkait dengan peran-peran gender yang secara bersamaan mengubah konsep-konsep menjadi laki-laki dan menjadi perempuan. Selain itu, penghidupan kembali nilai-nilai maskulinitas tradisional juga mengabaikan gelagat masyarakat yang mulai memimpikan pemimpin yang empatik, sensitif, welas asih dan tak berjarak dengan yang mereka pimpin. Gelagat ini sebagai akibat dari kekecewaan atas para pemimpin terdahulu yang korup, mementingkan diri sendiri, dan bahkan menindas rakyat mereka sendiri. Hal ini dapat kenali dari populernya beberapa pemimpin daerah yang menampilkan wajah yang sama sekali berbeda dari para pemimpin pada umumnya yakni pemimpin yang melayani. Dengan demikian, partai politik yang menjual citra maskulinitas tradisional tersebut harus siap-siap ditinggalkan oleh pemilih, baik yang menganut nilai-nilai baru tentang femininitas dan maskulinitas maupun pemilih yang mendambakan pemimpin yang benar-benar mengerti mereka.
Penggunaan simbol-simbol maskulinitas tradisional yang bersumber dari etnik tertentu mengabaikan keragaman konsep maskulinitas dalam masyarakat indonesia yang majemuk. Sehingga berpotensi dipersepsi sebagai bentuk dominasi etnis tertentu terhadap etnis lainnya atau dominasi laki-laki etnis tertentu terhadap laki-laki dari atnis lainya. Jika ini terjadi akan menghidupkan kembali sintemen kesukuan sebagaimana pernah muncul pada orde baru sehingga berpotensi melahirkan penolakan. Jika hal ini terjadi, maka akan menghilangkan simpati yang berarti menghilangkan dukungan suara.
Eksploitas simbol-simbol maskulinitas tradisional yang cenderung permisif dengan kekerasan juga berpotensi membuka memori lama kelompok masyarakat yang memiliki pengalaman buruk dengan para penguasa. Mereka yang mengalami atau keluarganya mengalami kekerasan, penculikan, penghilangan secara paksa akan cenderung melakukan penolakan terhadap partai poitik atau kandidat yang kemungkinan mengulang cara yang sama. Selain itu, kelit-kelindan norma maskulinitas tradisional dengan norma militer akan menyajikan ilustrasi horor tentang pemerintahan otoriter yang mengekang kebebasan warga negara dan pengesahan penggunaan kekerasan demi kepentingan penguasa. Hal ini jelas akan mempengaruhi pilihan politik masyarakat Indonesia yang semakin cerdas dan dewasa.

About Nur Hasyim

peminat kajian maskulinitas, trainer dan fasilitator tentang gender, maskulinitas dan kekerasan serta ayah dari dua anak perempuan. Saat ini menjadi pengajar di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *