Start yang Keliru
Laki-laki yang dikonstruksi oleh budaya patriarki menjadi pemimpin, memberikan arti tersendiri ketika momen pesta demokrasi berlangsung, bahkan demi bisa mengakses kursi kekuasaan, sebagian calon legislatif (Caleg) rela menghalalkan berbagai cara untuk bisa terpilih menjadi wakil rakyat, termasuk rela menghamburkan uang dengan jumlah besar, akibatnya belum genap 24 jam pasca penghitungan suara, sejumlah media online sudah memberitakan beberapa peristiwa tentang sejumlah Caleg yang prustasi dengan cara mengamuk, meminta kembali uang yang telah diberikan kepada masyarakat atau yang disumbangkan ke tempat-tempat ibadah, dan sejumlah peristiwa lainnya ketika ia mengetahui perolehan suaranya jeblok.
Dalam kasus pemilihan legislatif (Pileg), kegagalan terpilih menjadi anggota legislatif memang bukan satu-satunya persoalan, karena di sana ada persoalan harta, tenaga, dan waktu yang terkuras, belum lagi faktor eksternal di luar dirinya, yakni tim sukses yang mungkin tidak bekerja maksimal, internal partai yang kurang memberikan dukungan, dsb. Namun dari sekian kompleknya persoalan, konstruksi gender yang memposisikan laki-laki sebagai superior jauh lebih membebani, di mana tidak terpilihnya ia menjadi Caleg, apalagi bila ia seorang tokoh masyarakat, kegagalan tersebut dapat diartikan ia gagal meraih superioritasnya sebagai seorang lelaki “sejati”. Lalu ketika kegagalan tersebut dibubuhi dengan beban lainnya seperti menumpuknya utang untuk ongkos politik, serta banyaknya hal yang dipertaruhkan, dapat dibayangkan betapa berat beban psikologi yang dihadapi, yang akhirnya hal tersebut menjadi “bom waktu” bagi kestabilan mentalnya.
Androsentrisme Politik Kekuasaan
Seringkali kita mendengar politik adalah dunianya laki-laki, dunia yang membutuhkan nyali, energi, dan uang yang tidak sedikit. Tapi sadarkah kita bahwa selama ini warna dan citarasa politik di tanah air sangat androsentris? Ya, dapat dikatakan politik androsentris atau politik yang garis komando dan gayanya sangat maskulin, yang mengukur kepemimpinan seseorang dari debat kusir, dan saling membentak saat rapat paripurna, loyal dengan keputusan partai walau dampak dari keputusan tersebut akan merugikan rakyat, yang mencibir dengan kata “cengeng” ketika ada kepala daerah menangis saat membicarakan persoalan rakyat, dan sifat-sifat maskulin lainnya yang dijadikan sebagai barometer kemimpinan. Itulah mengapa ketika seseorang yang berlatar belakang militer maju sebagai pemimpin publik banyak pihak yang mendukung dengan alasan militer dibina dengan tegas dan keras, karenanya ia pantas didapuk menjadi pemimpin.
Output dari politik yang androsentris sangat berpengaruh pada hasil-hasil kebijakan, baik kebijakan yang dibuat oleh legislatif maupun eksekutif, di mana sebagian kebijakan yang diterbitkan justru diskriminatif terhadap rakyat kecil, terutama kebijakan yang mengatur soal sumber daya alam. Warna dan citarasa politik androsentris juga dapat ditemukan pada kebijakan yang mengatur tubuh dan hidup perempuan, terutama kebijakan yang diterbitkan dari pemerintah daerah, di mana Komnas Perempuan telah mencatat ada 342 peraturan daerah (Perda) yang outputnya di lapangan mendiskriminasi perempuan dan kelompok minoritas.
Dampak negatif dari berpolitik dengan warna androsentris bukan saja lebih mengedepankan seremoni dan pencitraan dalam menjalankan kekuasaan ketimbang bekerja secara nyata untuk kesejahteraan rakyat, tetapi juga mengedepankan kebijakan yang dianggap dapat mendongkrak popularitas sang pemimpin walau kebijakan tersebut tidak subtansif dengan mengeluarkan sejumlah peraturan-peraturan dan tidak memperdulikan apakah dampak dari kebijakan yang dihasilkan mendiskriminasi perempuan dan kelompok minoritas lainnya.
Pemimpin yang Manusiawi
Bukhori dan Muslim pernah meriwayatkan: “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diadili tentang kepimpinannya….”. Walau kalimat tersebut merupakan sabda Nabi, tetapi nampaknya perebutan kekuasaan saat ini tidak lagi memikirkan tanggung jawab moral, karena dari proses mendapatkannya saja sudah tidak lagi memperhatikan etika dengan melakukan politik uang, black campaign, berjanji untuk hal yang tidak bisa ditepati, dan lainnya. Padahal ketika calon pemimpin sudah berani menggadaikan moralnya demi kekuasaan, sesungguhnya ia telah kehilangan kepercayaan diri, dan orang yang tidak lagi percaya diri, maka ia tidak layak untuk menjadi pemimpin bagi orang lain.
Lalu bagaimana pemimpin yang didambakan kehadirannya? Mengingat karut marutnya konsep politik dan perebutan kekuasan di tanah air, saat ini yang dibutuhkan adalah pemimpin yang telah berhasil belajar menjadi manusia, pemimpin yang memanusiakan manusia, bukan pemimpin yang melihat rakyat hanya sebagai kantong-kantong suara yang dapat dibeli dengan janji-janji dan sejumlah uang, bukan pemimpin yang mengartikan ketegasan sebagai sesuatu yang maskulin, dan bukan pemimpin yang menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk membangun “kerajaan” keluarga, dan golongannya.
Dalam memimpin memang dibutuhkan ketegasan, tetapi bukan “ketegasan” saat menggusur pengungsian warga, melainkan ketegasan menolak peraturan-peraturan yang bertentangan dengan hak asasi manusia, ketegasan untuk melindungi kelompok minoritas dari gangguan, ketegasan dalam membuat anggaran yang pro kesejahteraan, dan ketegasan untuk menghukum pejabat yang korup, serta ketegasan untuk menjadi bangsa yang mandiri dan berdaulat.
Tags Caleg Legislatif maskulinitas Pemilu
Check Also
Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL
Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …