Sebatas Harapan Sepanjang Jaman; Sebuah Catatan Pengalaman.

Feminist? Apa yang terbayang dalam benak masyarakat jika mendengar kata Feminist.  Tentu bukan sebatas Perempuan dengan penuh kebebasan, menuntut hak dan tidak pernah puas dengan berbagai keadaan. Menuntut penghapusan segala bentuk penindasan khususnya penindasan terhadap perempuan, barangkali itu yang paling mendasar. Pertanyaan lain pun muncul, jika korbannya perempuan, benarkah laki-laki pelakunya? Atau Negara (pemerintah) sebagai lembaga yang berkewajiban melindungi warganegaranya dari berbagai tindak kekerasan, khususnya kekerasan yang berbasis gender.
Masih teringat dengan jelas bagaimana perempuan korban KDRT mengungkapkan masalahnya. Berusaha mengurai dan mencari solusinya hingga akhitrrnya tidak ada pilihan lagi kecuali mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. Tidak hanya berhenti di gugatan perceraian, ternyata suaminya selama ini menjadi panutan dan sering melakukan kekerasan hingga akhirnya menikah lagi dengan mengganti mengganti statusnya sebagai seorang bujangan ini tidak bersedia menceraikannya. Proses sidang sangat melelahkan. Sampai pada akhir keputusasaan mempertanyakan, apa sesungguhnya yang laki-laki cari dari seorang istri atau seorang perempuan?
Sebutan laki-laki egois, laki-laki mau menangnya sendiri seolah tidak pernah berhenti dari benak perempuan korban KDRT. Saya sudah bersabar dan mengalah, ibaratnya sudah tidak ada lagi yang tersisa dalam tubuh saya, mengapa perceraian pun tidak diijinkan. Andai laki-laki tahu bagaimana yang selama ini dilakukan perempuan, barangkali tidak akan sekejam ini. Kalimat ini yang kemudian menjadi titik dasar, bahwa sesungguhnya ada segenggam harapan andaikata laki-laki tahu, barangkali tidak akan separah ini.
Sejak saat itu yang terbersit dalam pikiran, mengapa ya tidak “mencerahkan” laki-laki sedini mungkin dalam berbagai kegiatan. Karena sebetulnya menggagas melibatkan laki-laki dalam perjuangan keadilan dan kesetaraan gender sudah saya rasakan dengan respon yang negative jika ada diskusi ttg gender dengan audience laki-laki dan saya melihat bahwa fasilitator laki-laki lebih mudah diterima. Saat itu rekan emman hermawan. Terlebih diuraikan dengan berbagai dalil agama Islam, terasa menyentuh hati dan tidak terlihat perlawanan.
Pengalaman tersebut bisa direfleksikan bahwa selama ini pemahaman perjuangan melawan ketidakadilan gender adalah melawan laki-laki. Sehingga segala atribut yang maskulin seolah melekat dalam tubuh perempuan sebagai ekspresi melawan laki-laki, maka laki-laki bersiap diri mempertahankan apa yang selama ini ada dan dinikmati. Lebih lanjut jika ada pegiat ketidak adilan gender berjenis kelamin laki-laki maka seolah-olah termasuk insane takut perempuan atau tidak “wajar” atau tidak semestinya. Dan ditahap akhir laki-laki pegiat keadilan gender adalah orang yang sudah bijak karena itu direspon positif baik oleh kelompok laki-laki, apalagi kelompok perempuan.
Pembagian peran sosial yang tidak seimbang selama ini telah melahirkan melahirkan kerugian yang sangat besar bagi perempuan. Upaya mendongkrak posisi perempuan dengan sekuat tenaga dilakukan. Dan feminist dengan berbagai latar belakang dan  pemahamaman pun terlahir dengan berbagai argumentasinya, yang pada intinya bukan memusuhi laki-laki namun menghapuskan berbagai sebab yang menjadikan perempuan terpuruk. Bukankah manusia terlahir sama, kecuali organ reproduksi dan seksualnya. Bukankah kehidupan yang beragam ini akan semakin indah apabila saling melengkapi dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Sekalipun tetap muncul pertanyaan bahwa melengkapi bukan menempatkan menjadi pelengkap, artinya bukan yang pokok.
Jika akan ada proses saling melengkapi artinya ada partisisipasi yang seimbang antara laki-laki dab perempuan. Akan ada kegiatan yang dikerjasamakan dengan penuh kesadaran untuk mencapai kehidupan yang seimbang. Pembagian peran yang mendapatkan penghargaan yang sama, bukan menempatkan satu sama lain sebagai obyek. Dan ada satu kelompok yang tertindas.
Menilik sejarah perjuangan feminist, termasuk Kartini, merupakan upaya untuk membebaskan dari ketertindasan. Tentu bukan untuk menciptakan ketertindasan yang lain. Semangat nilai ini seharus menjadi titik pijak, bukan semangat untuk menguasai. Pada akhirnya, perjuangan kesetaraan gender memang bukan hanya milik perempuan, namun perjuangan laki-laki dan perempuan. Bukan sekedar melibatkan laki-laki, namun mendorong secara aktif untuk mewujudkan keadilan gender dalam berbagai level.
Mendorong laki-laki untuk bersedia sharing kuasa yang selama ini dinikmati dan digunakan untuk menguasai perempuan. Melalui sharing yang dalam bahasa lain berbagi kuasa kepada perempuan, dan kepada laki-laki berbagi beban “domestic” yang selama ini diindikasikan menjadi beban perempuan yang tidak terkirakan. Lalu bagaimana dengan berbagi kuasa pada perilaku seksual selama ini? Akankah laki-laki sebagai sebagai pasangan seksualnya bersedia berbagi empati untuk selalu menggunakan Kondom agar tidak membebani atau menjadikan korban akibat perilaku seksnya? Tidak mengalami kesakitan, kehamilan yang tidak dikehendaki apalagi terpapar  IMS, HIV/AIDS.
Pelibatan secara aktif tentu tidak bisa dibiarkan berproses begitu saja, karena  bagaimana berbagai kebijakan yang selama ini bias dari kesetaraan dan keadilan gender. Seperti UU no 1 tentang Perkawinan, UU No 36/2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pajak Penghasilan bagi perempuan, Permenkes tentang Sunat Perempuan (sudah diperbaharui).  Menunggu bagaimana budaya berganti kearah yang lebih egaliter antara laki-laki dan perempuan, bagaikan sebuah mimpi yang tak berkesudahan, alih-alih memang dibutuhkan kebijakan khusus yang mengatur agar laki-laki “harus” bersedia berbagi dalam proses kesetaraan dan keadilan gender.
Sebagai pijakan  perubahan Hukum, kebijakan, peraturan perundangan dibutuhkan. Tiga unsure dalam perubahan hukum dibutuhkan yaitu secara subtansi, struktur dan kultur. Mungkinkah pelibatan laki-laki terwujud jika ada unsur budaya patriarkhi yang sengaja di langgengkan oleh banyak pihak. Peringatan Hari Ibu ( hari perempuan ) dibelokan dengan memberikan hadiah pada ibu, membebaskan ibu untuk tidak masak pada Hari Ibu. Peringatan Hari Kartini, tanpa mengingat sejarah mengapa Kartini membincang ketidakadilan. Peringatan Hari Kartini diwarnai anjangsana, dan berbagai kegiatan social lainnya sehingga mengukuhkan bahwa perempuan adalah makhluk yang peduli dan penuh empati. Hingga akhirnya secara subtansi peringatan Hari Kartini bukan mengingat Kartini sebagai feminist dengan semangat emansipasi.
Apabila Relasi Perempuan dan Laki-laki sejak lahir tetap dikondisikan sebagai relasi kuasa yang tidak pernah  berimbang, maka jika ada niatan untuk saling melengkapi antara peran perempuan dan laki-laki pun tetap harus dikritisi agar kehidupan bebas dari tindak kekerasan dalam kondisi apapun segera terwujud.  Bukan sekedar kesadaran semu, kesadaran tanpa gerakan karena pada dasarnya tidak ada kesungguhan untuk melakukan perubahan. Lebih tegasnya tidak mau bersusah payah dan tidak mamu menanggung resiko.
Wallohuallam bissawwab.
Penulis: Budi Wahyuni, Aktivis Perempuan, Ketua PHD PKBI DIY, Pendiri dan Pengurus Yayasan Annisa Swasti, Dosen IKM FK UGM
Tulisan ini disampaikan pada Diskusi Publik “Gerakan Pelibatan Laki-laki untuk Keadilan dan Kesetaraan Gender  dalam perspektif Feminist”

About Redaksi ALB

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *