Mengapa Saya Bukan Feminis

Saya selalu menolak disebut sebagai feminis, bagi saya sebutan itu terlalu berat dan terlalu baik untuk disematkan kepada saya. Bukan, bukan berarti saya menganggap bahwa feminis adalah kata dengan makna peyoratif. Lebih dari itu, feminis dan feminisme adalah sebuah kesadaran luhur yang kerap kali disalah pahami. Beberapa menganggap bahwa feminisme adalah paham yang membenci lelaki, berusaha untuk menjadikan perempuan di atas lelaki, atau paham yang ingin membuat perempuan mendominasi yang lain. Bagi saya ini pemahaman yang lain.
Feminisme adalah banyak hal, ia bisa jadi sebuah gerakan yang menyadarkan perempuan tentang potensi dirinya, satu metode berpikir yang dapat mendedah sistem patriarkis yang menindas, pisau analia yang dapat digunakan untuk menjelaskan represi kebudayaan, juga cara pandang untuk memahami pola pikir maskulin dalam sebuah peradaba. Feminisme, saya bisa menjamin ini kepada anda, bukanlah tentang usaha perempuan yang membenci lelaki untuk membuat mereka menderita. Feminisme malah ingin mengajak lelaki untuk sadar bahwa ada sistem menindas yang membuat peradaban timpang dengan relasi kuasa yang tidak setara.
Feminisme adalah tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Tapi kita mesti meyakini bahwa saat ini satu jenis kelamin, laki-laki, pada banyak sistem sosial dan hirarki lebih diuntungkan daripada perempuan. Atau dalam bahasa yang lebih keren (baca:rumit) lelaki tidak secara sistematis direpresi berdasarkan gender mereka. Ini fakta. Sementara perempuan direpresi. Dan ini adalah fakta yang lain. Anda boleh setuju, boleh juga tidak, dan yang paling asik, anda boleh membantah dan mengajukan argumen yang lain. Bahwa dalam sistem budaya sosial tertentu, perempuan diuntungkan ketimbang laki-laki, tapi pertanyaannya sejauh mana keuntungan itu dirasakan dan apakah sudah dirasakan oleh seluruh perempuan secara universal.
Feminisme menjadi kata yang buruk, mengalami peyorasi bagi banyak kelompok karena dianggap merusak tabu, menghancurkan tatanan, dan beberapa dituduh sebagai virus yang menggerogoti keyakinan suci. Feminisme kerap dibaku hadapkan dengan teks agama, tatanan sosial dan juga norma-norma, yang jika kita mau jujur, disusun oleh kelompok masyarakat patriarkis dengan tendensi maskulin. Pada teks agama, tafsir terhadap firman kerap kali digunakan untuk menjustifikasi penindasan terhadap kelompok perempuan.
Sampai di sini saya punya pertanyaan, apakah kita benar benar menolak feminisme? Apakah kita demikian jijik mengaku menjadi feminis? Lebih dari itu, yakin anda bukan feminis?
Jika kalian percaya pada hal hal berikut seperti:

  1. Hak-hak yang terkait masalah reproduksi semestinya dikembalikan kepada individu masing masing, bukan kepada negara atau satu jenis kelamin yang lain.
  2. Kesetaraan penghasilan yang disesuaikan dengan kualitas pekerjaan dan prestasi yang diraih terlepas jenis kelaminnya.
  3. Memahami bahwa standar kecantikan dan tubuh ideal bukanlah monopoli satu kelompok dan keberagaman warna kulit, bentuk tubuh, jenis rambut adalah keunikan masing masing individu.
  4. Percaya bahwa pendidikan adalah hak dasar bagi tiap tiap manusia terlepas jenis kelaminnya, sekaligus percaya bahwa 62 juta anak perempuan yang ada di negara negara dunia ketiga/berperang berhak mendapatkan pendidikan yang layak.
  5. Mengakhiri kekerasan seksual dan misoginisme terhadap perempuan.
  6. Percaya bahwa perempuan, seperti juga laki laki, bisa dan mungkin lebih mampu menjadi pemimpin dalam pemerintahan, perusahaan dan gerakan sosial.
  7. Setiap perempuan berhak meraih pendidikan yang lebih baik, berpenampilan apapun tanpa takut dilecehkan dan berhak menentukan pendapatnya sendiri.

Semacam itulah dan jika anda percaya hal-hal semacam ini. Anda mungkin sudah jadi feminis. Nah lho. Oleh karena itu, sebelum anda memutuskan menolak menjadi feminis atau menghakimi feminis, setidaknya pahami apa arti kata ini sebelum melakukan penghakiman. Sebagai perbandingan Chimamanda Ngozi Adichie dalam sebuah pidato yang memukau pernah berkata Feminis orang yang percaya adanya kesetaraan dalam hal sosial, poltik, ekonomi yang adil antara laki laki dan perempuan. Bagi saya ini adalah definisi feminis paling sederhana dan yang paling baik yang bisa disampaikan.
Oh iya, mengapa saya menolak menjadi feminis? Mungkin karena saya masih punya tendensi untuk tidak tulus. Barangkali menjadi lelaki feminis akan membuat perempuan tertarik. Membuat mereka merasa nyaman dan pada satu titik rasa nyaman itu bisa dieksploitasi menjadi kepentingan yang lain. Seperti melakukan koitus, pinjem duit, dan sebagainya. Saya menolak menjadi feminis karena takut tendensi tidak tulus tadi malah membuat para lelaki yang tulus memperjuangkan kesetaraaan hak gender ini jadi tercoreng.
Ada lho laki laki yang mengaku feminis untuk meniduri perempuan, menipu dan mengambil keuntungan dari orang lain. Laki-laki macam ini menghancurkan dan kerap kali melahirkan kecurigaan yang tidak perlu. Tentu saya suka perempuan, menyukai keberadaan mereka, tapi menggunakan label dan pengetahuan tentang feminisme untuk kepentingan dangkal seperti seks atau uang itu brengsek lagi hina. Belum lagi kalau si laki laki sok feminis ini ditolak, ia bisa saja menunjukan watak aslinya yang represif.
Intinya, kadang libido bisa mengalahkan nurani dan akal sehat. Untuk itu saya menjauhkan diri dari label apapun terlebih dahulu. Pun kalau ada label yang ingin saya miliki, barangkali label itu adalah Saiyan.

About Arman Dhani

Jurnalis di Tirto.id. Menyukai piringan hitam, sepatu dan buku. Sedang berusaha move on.

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *