Menguatkan Critical Thinking, Menantang Patriarkisme (Bagian I)

Konteks Pra-workshop

Selama empat hari, 24-27 Oktober 2011, bersama Nur Hasyim (Boim), Aditya Kurniawan dan Damairia Pakpahan, saya berkesempatan mengikuti Regional Capacity Development Workshop for Civil Society in East and Southeast Asia yang difasilitasi East and Southeast Asia Regional Learning Community (RLC) for Transforming Masculinities di Vientiane, Laos.

Sekitar 30 orang aktivis dari beberapa negara, termasuk Mongolia, China, Jepang, negara-negara ASEAN, Timor Leste, Fiji plus India, berpartisipasi dalam workshop ini.
RLC sendiri terbentuk melalui proses panjang, hampir sekitar 2 tahun.

Diawali sebuah ‘seminar’ tentang penguatan keterlibatan laki-laki, lalu dilanjutkan dengan workshop tentang penguatan kapasitas dalam kerja penguatan keterlibatan laki-laki, hingga akhirnya berkembang menjadi gagasan membangun komunitas pembelajar bersama yang salah satu ‘ujungnya’ adalah workshop empat hari tersebut.

Proses panjang ini menggambarkan ‘perubahan’ kesadaran dan cara pandang, tak hanya terkait sebagai kelompok di sebuah kawasan yang sedang ‘menyambut’ perkembangan wacana bekerja dengan laki-laki(engaging men) dan maskulinitas; yang lebih penting, juga perubahan perspektif dalam memandang isu bekerja dengan laki-lakin dan maskulinitas ini.

Pada awalnya, RLC—yang banyak didukung oleh Partners for Prevention (P4P)—memang (hanya) berisi para aktivis dari berbagai negara yang diundang untuk ‘membicarakan’ berbagai isu seputar bekerja dengan laki-laki dan maskulinitas.

Melalui proses refleksi dan diskusi intensif, kelompok ini menyadari pentingnya menyentuh aspek yang lebih bersifat struktural dan ideologis yang menjadi akar bagi berbagai persoalan ketidakadilan dan kekerasan, khususnya kekerasan gender dan seksual.

Keluar dari orientasi kerja sementara atas dasar proyek menjadi pilihan penting untuk ‘menghindari’ resiko kemungkinan kerja ini tidak akan menghasilkan perubahan ideologis dan struktural secara signifikan.

Pada akhirnya, disepakati untuk menyebut proses ini sebagai komunitas pembelajar (learning community) yang akan bersama-sama membangun konsep, menguji-coba konsep tersebut, dan terus memikirkan berbagai cara agar perubahan-perubahan struktural dan ideologis menuju terwujudnya keadilan gender dan keadilan sosial bisa dicapai.

Perubahan konsep ‘wadah’ ini juga penting karena proses ini lebih berorientasi pada penguatan kapasitas (capacity building); sebagai komunitas pembelajar, agenda penguatan kapasitas tak hanya menjadi tanggung jawab atau beban satu-dua orang, atau tak hanya menjadi proses yang didominasi satu-dua orang, tapi membutuhkan sekaligus terbuka bagi semua dalam komunitas ini.

Dengan ‘mendeklarasikan’ diri sebagai komunitas pembelajar, proses ini bermisi untuk tidak hanya berhenti pada satu tahapan kegiatan, semisal training atau workshop, sebagai agenda penguatan kapasitas. Komunitas pembelajar diharapkan bisa menjadi sumber inspirasi bagi berbagai upaya penguatan kapasitas, melahirkan berbagai pemikiran tentang strategi menghapuskan ketidakadilan dan kekerasan.

Pemikiran untuk menyentuh aspek yang lebih bersifat ‘akar’ struktural dan ideologis juga menjadi perkembangan—sekaligus pencapaian—sangat penting dalam komunitas regional ini. Alih-alih terlalu fokus pada isu ‘bekerja dengan laki-laki’, komunitas ini justru lebih mementingkan bagaimana strategi dan upaya ‘baru’ dalam menantang patriarkisme, akar ideologis bagi berbagai bentuk ketidakadilan, termasuk ketidakadilan gender dan seksualitas.

Proses ini bahkan tidak sedikit melahirkan kritik tajam terhadap gagasan yang melulu diperuntukkan untuk ‘bekerja dengan laki-laki.’ Akar persoalannya, disadari bersama, bukanlah pada laki-laki atau perempuan, tapi pada patriarkhisme sebagai ideologi ketidakadilan dan kekerasan, termasuk yang lahir melalui ‘jalur’ konstruksi maskulinitas (dan femininitas) patriarkhal.

Dalam hal ini, rekonstruksi dan dekonstruksi patriarkhisme menjadi framework bagi proses panjang yang sedang dibangun ini: kita ‘bermimpi’ proses ini suata saat akan berhasil menghapus patriarkhsime sebagai ideologi dominasi dan hegemoni.

Membangun kesadaran dan pemikiran kritis terhadap ideologi patriarkhisme beserta segala produknya menjadi fondasi bagi misi menantang patriarkhisme tersebut. Kesadaran kritis (critical consciousness) menyediakan ruang bagi kita untuk selalu awas, eling, ngeh, waspada dan curiga terhadap patriarkhisme dan produk derivatifnya.

Saking dominan dan hegemoniknya, siapakah dari kita, meski feminis senior sekalipun, yang bisa selalu (konsisten) menghindar diri dari (pengaruh) patriarkhisme?

Jikapun diri kita sebagai feminis atau aktivis gerakan perempuan atau gerakan keadilan gender dan seksualitas (merasa) bersih dari hegemoni patriarkhisme, kesadaran kritis terhadap patriarkhisme tetap sangat dibutuhkan jika kita berefleksi betapa para punggawa patriarkhisme selalu berusaha melakukan berbagai ‘pembaruan’ agar ideologi ini bisa terus lestari; manifestasi patriarkhisme akhir-akhir ini menjadi semakin ‘canggih,’ mendompleng—atau bahkan menjadi lead—berbagai gerakan sosial-politik (baru) seperti neo-liberalisme (plus globalisasi), fundamentalisme dan konservatisme (atau tradisionalisme) agama, radikalisme budaya, nasionalisme, dan sebagainya.

Tanpa kesadaran kritis terhadap patriarkhisme, kita hanya akan memandang dinamika sosial-politik seperti itu sebagai ‘kejadian-kejadian yang tidak punya hubungan sama sekali dengan patriarkhisme’. Tanpa kesadaran kritis terhadap patriarkhisme, kita juga mungkin kesusahan menangkap ‘tanda-tanda’ patriarkhisme dalam perkembangan politik di negara kita akhir-akhir ini….

Bahkan, sementara patriarkhisme semakin canggih, tanpa kesadaran kritis, kita mungkin berasumsi semua yang kita lakukan telah ‘baik-baik saja,’ –termasuk dalam perjuangan mewujudkan keadilan gender—segalanya telah benar-benar bersih dari pengaruh patriarkhi. Kesadaran kritis, sekali lagi, membuat kita akan selalu awas, eling, waspada, ngeh dan aware terhadap kemungkinan patriarkhisme diam-diam merasuki cara berfikir, tabiat, bahkan kerja kita untuk keadilan gender.

Kritik dari para feminis terhadap kemungkinan wacana ‘bekerja dengan laki-laki’ menjadi media (baru) patriarkhisme sangat penting didengarkan dalam konteks menguatkan kesadaran kritis terhadap patriarkhisme tersebut.

Meski para penggagas wacana ini –yang tak sedikit datang juga dari lingkaran (pendukung) feminisme– diyakini sama sekali tak bermaksud menjadikan gagasan ‘bekerja dengan laki-laki’ sebagai ladang baru bagi patriarkhisme dan dominasi laki-laki, melihat kecanggihan patriarkhisme melakukan metamorfosa kemungkinan patriarkhisme masuk dalam gagasan ‘bekerja dengan laki-laki’ sangat mungkin terjadi.

Sekedar ilustrasi, di tengah gempita berkembangnya gagasan ‘bekerja dengan laki-laki’ tiba-tiba muncul ide atau keinginan untuk membuat Hari Ayah (Father’s Day) yang ‘setara’ dengan Hari Ibu (Mother’s Day); lalu, muncul juga ide atau keinginan untuk menyediakan layanan konseling bagi laki-laki yang menjadi korban kekerasan (oleh perempuan), yang ‘setara’ dengan layanan bagi perempuan korban kekerasan.

Tanpa kesadaran kritis, kita mungkin saja hanya mengiyakan semua ide dan keinginan ini, tanpa curiga terhadap kemungkinannya alih-alih menantang patriarkhisme justeru menjadi ladang untuk melestarikan patriarkhi.

Kesadaran kritis terhadap patriarkhisme akan mendorong kita untuk memiliki pemikiran kritis (critical thinking). Kesadaran kritis betapa patriarkhisme telah menjelma dalam bentuk yang sangat ‘canggih’ seharusnya bisa mendorong kita untuk tak pernah lelah merekonseptualisasi atau bahkan membangun konsep baru, mengkonstruksi cara berfikir baru –bukan hanya pada level produk pemikiran— yang diusahakan bersih, suci, dan murni dari pengaruh patriakhisme.

Pemikiran kritis ini memfasilitasi kita untuk bisa melihat dan menganalisa suatu kejadian atau kasus, terutama kekerasan dan ketidakadilan, dengan cara pandang yang lebih luas dan kompleks; mendudukan kekerasan, misalnya, bukan saja sebagai kasus (case) yang hanya melibatkan pelaku dan korban (survivor), tapi persoalan yang memiliki akar ideologis dan struktural, bahkan pada kasus kekerasan dan ketidakadilan yang terjadi pada level ‘personal’ atau ‘individual’ dalam bentuk kekerasan dalam hubungan intim sekalipun.

Pemikiran kritis sangat penting agar kita mampu melihat kekerasan dari berbagai aspek, satu sisi, dan sisi lain, bisa menangkap problem ketidakadilan pada berbagai fenomena sosial, politik, budaya, agama, yang tak kasat mata hingga membuat kita mampu memproduksi pemikiran kritis untuk melawan, menantang dan mengubahnya.

Penguatan visi perubahan dan transformasi juga orientasi penting lain dalam proses belajar bersama ini. Kesadaran kritis dan pemikiran kritis perlu berkembang menuju terbentuknya visi perubahan dan transformasi yang lebih kuat, yang tak hanya lebih ‘bersih’ dari pengaruh hegemonik patriarkhisme, tapi juga kuat orientasi mewujudkan dunia manusia tanpa ketidakadilan, opresi, diskriminasi dan kekerasan.

Proses ini akhirnya menyepakati untuk mencapai tujuan utama membangun kesadaran kritis dan pemikiran kritis diwujudkan salah satunya melalui kegiatan belajar bersama bagi para aktivis yang selama ini sudah bekerja banyak untuk keadilan gender. Artinya, agar proses ini berjalan lebih teratur dan sistematis, kita perlu semacam modul atau kurikulum yang bisa menjadi ‘pegangan’ untuk kegiatan bersama ini.

Namun, disadari sejak awal, modul tersebut harus menjadi bahan terbuka (living curriculum), terbuka bagi pemikiran dan ide baru agar tujuan penguatan kesadaran kritis dan pemikiran kritis bisa benar-benar tercapai.

Aplikasi modul dalam sebuah training atau workshop juga harus menjadi media mengunduh berbagai pemikiran dan ide untuk penguatan bahan belajar ini, dan pada sisi lain, menginspirasi para peserta belajar untuk memproduksi berbagai pemikiran dan gagasan melawan dan menantang patriarkhisme.

Sebuah tim terdiri beberapa aktivis dari berbagai negara di kawasan Asia Tenggara, Asia Timur dan Pasifik ‘menyiapkan’ bahan belajar, merumuskan beberapa subyek dan merancang metode belajar. Hasilnya, modul terbuka ini berisi beberapa subyek yang menurut pemikiran tim bisa membantu menguatkan kesadaran dan pemikiran kritis terhadap patriarkhisme serta membantu menguatkan visi transformasi dan perubahan, yaitu:

  1. Mengapa transformasi? HAM, keadilan sosial dan keadilan gender sebagai framework mengenali berbagai bentuk ketidakadilan dan kekerasan
  2. a) gender dan seks (keragaman dan fluiditas), b) patriarkhi, interseksionalitas dan sistem kekuasaan, c) Maskulinitas hegemonik/patriarkhal, d) kekerasan dan opresi, e) seksualitas (penghargaan terhadap keragaman)
  3. a) jalan menuju transformasi, b) transformasi personal, c) transformasi kelembagaan, d) transformasi sosial dan gerakan sosial.

Dari segi metode belajar (bukan metodologi belajar), proses ini lebih banyak diisi dengan refleksi dan diskusi, selain mengadopsi metode belajar dari SASA! ‘modul belajar’ tentang kekerasan dalam konteks HIV/AIDS yang menekankan pemahaman ulang terhadap kekuasaan (power) hasil inovasi Raising Voices dari Uganda.

*Terima kasih untuk Donald Caballero dan Laufred Fernandez atas foto-fotonya.

About Farid Muttaqin

mahasiswa doktoral di Departemen Antropologi, State University of New York (SUNY)-Binghamton University, Amerika Serikat; pernah bergabung bersama PUAN Amal Hayati dan UN Women (UNIFEM) Indonesia ; dan aktif dalam Aliansi Laki-laki Baru dan gerakan maskulinitas baru di Asia Tenggara dan Asia Timur. Kontak: fmuttaq1@binghamton.edu

Check Also

Webinar Konsultasi Nasional: Refleksi Pelibatan Laki-laki di Indonesia

Pengantar Upaya mencapai keadilan dan kesetaraan gender dilakukan dengan mendorong perubahan norma budaya patriarki yang …

One comment

  1. Terima kasih sudah sharing ya.. Sudah tidak sabar untuk berproses seperti ini juga.. Kapan? Kapan? Kapan? (gaya upin ipin).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *