Workshop empat hari yang diadakan di Vientiane, ibukota Laos, tidak terpisahkan dari proses panjang yang dibangun sebelumnya.
Workshop ini merupakan langkah ‘uji-coba’ atau eksperimen bagaimana pemikiran dan gagasan yang dihasilkan dalam proses panjang, salah satunya dalam bentuk living curriculum, bisa menjadi bahan belajar untuk mencapai tujuan membangun kesadaran kritis dan pemikiran kritis serta menguatkan visi transformasi dan perubahan.
Workshop di Laos juga menjadi upaya untuk lebih memperluas ruang belajar, agar proses belajar bisa diakses oleh lebih banyak aktivis, dan diharapkan, sekali lagi, menginspirasi berbagai pemikiran dan gagasan (baru) untuk melawan patriarkhisme.
Sebagai forum belajar bersama, workshop ini juga ditujukan untuk membangun solidaritas sesama aktivis, dan mendorong kita untuk lebih aktif berbagi (sharing and exchange).
Dalam workshop ini demarkasi trainer, fasilitator, narasumber, panitia, dan peserta ditiadakan. Hal-hal tersebut hanya ‘pembagian’ peran untuk mengefektifkan proses belajar. Peserta adalah narasumber, narasumber adalah peserta.
Semuanya diharapkan memiliki komitmen untuk turut mengembangkan dan menguatkan berbagai gagasan dan pemikiran yang sudah dibangun dalam proses panjang sebelumnya. Karena itu, sekali lagi, proses ini menyediakan ruang sangat banyak untuk refleksi dan diskusi, berbagi pemikiran, opini, dan pengalaman.
Secara singkat, berikut gambaran proses belajar dalam workshop tersebut. “Mengapa transformasi?” membuka kegiatan belajar dalam workshop ini. Menggunakan “New Planet,” game dari SASA!, kita dikenalkan pada sebuah proses di mana kesadaran akan kekuasaan (power) sering mematikan respek kita terhadap perbedaan dan keragaman.
Dalam situasi di mana kekuasaan dimiliki secara seimbang, keragaman dan perbedaan tidak menjadi sumber masalah kekerasan, ketidakadilan dan opresi. Kebebasan individu yang diformalkan dalam formulasi HAM penting menjadi fondasi agar kita tetap bisa memiliki respek terhadap perbedaan dan keragaman, serta tetap bisa mengontrol kekuasaan yang kita miliki, dan tidak menggunakannya untuk melakukan kekerasan, ketidakadilan dan opresi.
“Gender dan seks” merupakan subyek ‘abadi’ dalam berbagai forum belajar tentang gender. Apa bedanya dalam workshop ini? Pertama, sesi ini ingin (kembali) menguatkan kesadaran dan pemikiran bahwa konstruksi gender dan seks tidaklah tunggal dan statis, tapi beragam (tak hanya terkait laki-laki dan perempuan) dan ‘mengalir’ (fluid), sesuatu yang bisa berubah setiap saat dan setiap individu memiliki kemerdekaan untuk memilih.
Dengan kesadaran ini, respek terhadap pluralitas gender diharapkan semakin kuat di kalangan para aktivis, dan ini hal penting karena kenyatannya banyak di antara kita yang masih punya pandangan stereotipikal dan stigmatik misalnya terhadap transgender atau transeksual.
Kedua, sesi ini juga ingin mendorong para peserta bahwa berbagai konsep seputar gender dan seks bukan merupakan produk final: sesuatu yang dinilai seks atau gender tidaklah kaku atau rigid. Misalnya, selama ini kita berpikir karena secara biologis perempuan memiliki air susu (breastmilk), maka mereka juga dikenakan beban untuk menyusui (breastfeed), lalu berkembang pandangan menyusui adalah kewajiban biologis perempuan.
Kita perlu menyadari bahwa terkait konstruksi biologis sekalipun terdapat banyak konstruksi sosial-budaya –dan ini banyak dipengaruhi patriarkhisme– yang jika kita ‘keliru’ memahami dan menganalisanya bisa jadi akan membuat kita terlibat ‘melanggar’ hak mereka yang memilih untuk tidak menggunakan ‘kepemilikan biologisnya,’ seperti kasus perempuan yang memutuskan secara merdeka untuk tidak menggunakan kandungan ‘miliknya’ sebagai tempat mengandung.
Sesi tentang patriarkhi, interseksionalitas dan sistem kekuasaan menjadi subyek krusial dalam workshop ini. Tujuan utamanya adalah menguatkan pemahaman kita tentang patriarkhi, beragam manifestasinya–baik yang visible maupun invisible—keterkaitannya (intersection) dengan berbagai institusi sosial, politik, budaya, negara, agama, dan sebagainya, cara kerjanya (working) hingga menjadi ideologi dominasi dan hegemoni yang ‘membimbing’ kita untuk menggunakan kekuasaan sebagai alat kekerasan, diskriminasi dan opresi.
Sesi ini juga dimaksudkan untuk memahami ulang patriarkhisme sebagai ideologi ketidakadilan yang tidak hanya berlaku pada relasi laki-laki dan perempuan, tapi, sebagai ideologi kekuasaan yang tidak adil dan hierarkis, juga berlaku pada relasi dan institusi apapun, termasuk relasi bernegara.
Pemahaman (baru) terhadap patriarkhisme seperti ini sangat penting untuk membantu kita melihat, mengenali dan menganalisa kaitan ketidakadilan pada berbagai fenomen, termasuk neo-liberalisme dan fundamentalisme agama dengan patriarkhisme, agar kita sebagai feminis atau sebagai aktivis gerakan keadilan gender dan hak-hak perempuan tidak menutup mata atau mengambil jarak pada berbagai fenomena tersebut, dan melulu fokus pada ketidakadilan dan kekerasan yang langsung terjadi dalam relasi gender.
Untuk memahami bagaimana patriarkhisme melakukan ‘perselingkuhan’ (intersection) dengan berbagai lembaga sosial, politik, budaya dan agama, sesi ini menggunakan kerangka ekologis (ecological framework) yang diadopsi dari SASA! tentang bagaimana masing-masing saling mempengaruhi, saling menguatkan, saling membantu, membentuk sistem dominan dan hegemonik. Kerangka ini diturunkan secara praktis dalam bentuk game “Circle of Influence”.
Sesi ini juga mendiskusikan bagaimana konsep menjadi laki-laki (masculinities) menjadi produk pemikiran sosial-budaya penting dalam rangka melestarikan patriarkhisme, yaitu melalui maskulinitas patriakhal yang hegemonik, yang hanya mengakui konsep tunggal menjadi laki-laki: si keras, si dominan, si opresif, dan seterusnya.
Sesi seksualitas mendiskusikan bagaimana melalui maskulinitas hegemonik berpengaruh terhadap lahirnya ketidakadilan dan kekerasan seksualitas. Sesi ini mendiskusikan secara kritis mitos-mitos laki-laki ideal berdasarkan patriarkhisme menjadi bagian dari cara pandang heterenormativisme yang telah diterima sangat dominan sebagai alat politik opresi seksualitas.
Homophobia, stigma terhadap mereka yang memilih selibat, atau memilih tak beranak-pinak di antara contoh bagaimana konstruksi maskulinitas hegemonik mempengaruhi cara pandang dan tabiat kita dalam memandang ‘seksualitas’ seseorang.
Politik seksualitas (the politics of sexuality), penggunaan konsep dan wacana seksualitas untuk kepentingan melestarikan kekuasaan, juga menjadi bagian diskusi dalam sesi ini. Melalui diskusi dalam sesi seksualitas ini diharapkan kita akan memiliki pemahaman dan kesadaran lebih kuat terhadap keragaman konstruksi seksualitas, membuat bisa lebih respek terhadap bentuk-bentuk seksualitas apapun, termasuk pilihan orientasi seksualitas tertentu.
Sebagai feminis dan aktivis keadilan gender, pengakuan dan respek terhadap pluralitas seksualitas menjadi salah satu prinsip fundamental jika kita ingin menantang patriarkhisme.
Sesi kekerasan dalam workshop ini minimal memiliki dua tujuan utama.
Pertama, membangun pemahaman lebih komprehensif tentang kompleksitas di balik kekerasan, termasuk kekerasan berbasis gender dan seksualitas. Kompleksitas, artinya, salah satunya, kekerasan bahkan pada level kekerasan dalam hubungan intim sekalipun, sama sekali tidak cukup hanya dipandang sebagai kekerasan personal, di mana hanya pelaku dan korban yang ‘terlibat’ dalam kejadian itu.
Kita perlu memahami, kekerasan tersebut tidak lepas dari kepercayaan sosial dan sikap abai Negara—yang semuanya merupakan bagian instutusi patriarkhisme.
Menghentikan kekerasan tak cukup hanya menghukum pelaku atau memberi konseling pada korban.
Upaya ‘memperlakukan’ pelaku dan ‘memberi konseling pada korban’ harus menjadi proses perubahan perspektif dan ideologi, dari perspektif patriarkhisme yang permisif pada kekerasan kepada perspektif antipatriarkhisme yang tidak kompromi sama sekali terhadap kekerasan.
Artinya, dan ini menjadi tujuan yang kedua, kita perlu memiliki kepercayaan bahwa kekerasan tersebut merupakan sesuatu yang tidak boleh terjadi, kita perlu menguatkan sikap menolak (resistance) terhadap kekerasan itu.
Dalam pandangan patriarkhisme, kekerasan sering dianggap lumrah, apalagi kekerasan dalam sistem kekuasaan yang tidak adil; sikap menolak dengan kuat atau percaya kekerasan tidak dibenarkan menjadi fondasi bagi transformasi, perubahan sosial, perubahan dunia lebih adil tanpa kekerasan.
Bagian terakhir dari workshop ini adalah membangun dan menguatkan visi transformasi, bahwa patriarkhisme bisa direkonstruksi, dideksontruksi, diubah, bahkan dihapuskan. Bagian ini banyak diisi dengan refleksi sebagai aktivis yang sudah lama bergelut dalam gerakan keadilan gender dan hak-hak perempuan.
Apakah upaya kita selama ini benar-benar kuat dengan visi menantang patriarkhisme, dan benar-benar bersih dari pengaruhnya yang sangat hegemonik?
Dalam diskusi, saya sendiri mengungkapkan sebuah kegelisahan, bahwa dalam posisi saya sebagai aktivis sekalipun, saya merasa sering tak bisa menghindari pengaruh patriarkhisme. Hanya, karena memiliki akses terhadap pengetahuan tentang berbagai isu gender, saya bisa melakukan ‘teoretisasi’, atau meminjam istilah Adit, ‘intelektualisasi,’ terhadap sikap dan pandangan kita yang sejujurnya dipengaruhi patriarkhisme itu.
Saling menguatkan, saling mengingatkan, dan solidaritas dengan demikian sangat dibutuhkan agar kerja kita mewujudkan keadilan, menghadirkan dunia nir-kekerasan, bisa terus bersih dari patriarkhisme, satu sisi, dan di sisi lain, tidak sering ‘diganggu’ kegelisahan dan ketakutan yang bisa melemahkan komitmen aktivisme kita.
Pada tingkat yang lebih praktis, transformasi dilakukan dengan terus menjaga semangat aktivisme kita, terus-menerus mencari cara dan strategi untuk ‘membesarkan’ ideologi melawan patriarkhisme ini, termasuk saling belajar di antara sesama aktivis.
Keterbukaan pikiran (openmindedness) menjadi prinsip penting untuk membangun situasi saling belajar dan bertukar tersebut. Sesi ini ditutup dengan pemaparan beberapa rencana yang akan dilakukan para peserta paskaworkshop. Dari Indonesia, di antara rencana tersebut adalah:
- meneruskan proses untuk membangun kesadaran dan pemikiran kritis terhadap patriarkhisme
- meluaskan ruang belajar dan ruang refleksi bersama tidak hanya pada lingkungan Aliansi Laki-Laki Baru
- merumuskan strategi kreatif dan inovatif dalam menantang patriarkhisme, termasuk mengembangkan agenda melakukan pendekatan terhadap kelompok-kelompok potensial.
Semoga catatan ini bisa bermanfaat, menjadi bagian dari proses belajar kita, menguatkan komitmen untuk terus menantang patriarkhisme, mewujudkan dunia tanpa diskriminasi, opresi dan kekerasan atas dasar apapun.
Tentu saja, tidak semua yang terjadi dalam proses panjang di level regional ini hingga workshop di Laos terekam selengkap-lengkapnya dalam tulisan ini.
Namun, saya tetap berharap, ada beberapa bagian yang bisa menjadi bahan penting bagi usaha kita, termasuk melalui Aliansi Laki-Laki Baru, menguatkan gerakan melawan patriarkhisme dan segala bentuk manifestasinya.
Farid Muttaqin, lulusan IAIN Jakarta dan Ohio University, pernah bekerja di PUAN Amal Hayati, saat ini menjabat sebagai National Project Officer di UN Women Indonesia dan aktif di Aliansi Laki-laki Baru.
Bacaan lebih lanjut, silakan kunjungi lama-laman berikut:
- Partners for Prevention (P4P): http://www.partners4prevention.org/
- Regional Learning Community (RLC): http://regionallearningcommunity.ning.com/
- Raising Voices dan SASA!: http://www.raisingvoices.org/sasa/index.php