Seberapa Jauh Jalan Feminis Yang Bisa Ditempuh Laki-laki

Catatan 9 Tahun Aliansi Laki-Laki Baru

Dalam dua bulan terakhir ini ada 2 kabar yang mengejutkan saya dan mungkin bagi mereka yang selama ini mengkampanyekan pelibatan laki-laki untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan atau yang percaya bahwa laki-laki dapat memiliki kesadaran feminis dan terlibat dalam gerakan-gerakan untuk menciptakan keadilan gender. Berita pertama yang mengejutkan itu adalah dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh Michael Kimmel, professor di salah satu perguruan tinggi di Amerika yang dikenal luas sebagai akademisi dan sekaligus aktivis yang tidak hanya dipandang pakar dalam kajian kritis maskulinitas tapi juga pembela gigih untuk memperjuangkan kehidupan yang adil dan terbebas dari kekerasan berdasarkan jenis kelamin. Akibat dugaan pelecehan ini Jessie Bernard Award, penghargaan prestisius dari Asosiasi Sosiolog Amerika batal diberikan kepada Kimmel. Berita ini di rilis oleh The Guardian pada 15 Agustus lalu yang dapat dilihat dalam link berikut ini.
Berita kedua, adalah dugaan serupa terhadap Ravi Karkara, petinggi PBB yang juga dikenal sebagi laki-laki yang memperjuangkan agenda-agenda keadilan gender dan mempromosikan pentinya melibatkan laki-laki dan remaja laki-laki dalam upaya membangun keadilan gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Berita ini juga dilansir the Guardian seminggu sebelum berita tentang Kimmel dirilis dan berikut link beritanya 
Dua kasus yang menimpa tokoh laki-laki tersebut tentu menyentak, menyakitkan dan tentu menyedihkan bagi para kolega mereka termasuk saya yang tidak mengenal secara pribadi tapi membaca tulisan-tulisan mereka. Selain itu, kasus ini juga mengingatkan saya akan kasus serupa di Indonesia, kasus tentang laki-laki yang dipuja karena pembelaannya terhadap perempuan tiba-tiba melakukan tindakan yang dulu mereka tentang. Teman saya mengibaratkan apa yang dilakukan oleh laki-laki ini ibarat menikam gerakan perempuan dari belakang.
Jika saya kecewa dan sedih, lebih-lebih para feminis yang sedari awal tidak begitu yakin bahwa laki-laki dapat menjadi sekutu sejati dalam melawan dominasi dan penidasan yang dilakukan laki-laki. Bagi para feminis kedua kasus itu menjadi bukti akan tesis mereka bahwa laki-laki pada dasarnya tidak dapat dipercaya. Ketidakpercayaan yang sangat saya pahami.
Belum lagi keprihatinan ini mereda, muncul pernyataan Kimmel yang bernada menyesalkan dan menganggap tuduhannya sebagai rumor dan meminta penjelasan terkait tindakan mana yang ia lakukan yang dianggap sebagai bentuk pelecehan seksual. Kontan pernyataan ini menjadi blunder karena selama ini Ia dianggap sebagai salah seorang yang mengkampanyekan perlunya bagi seorang pendamping untuk mendengarkan kesaksian korban dan mempercayainya, tidak menghakimi apalagi menganggapnya sebagai rumor atau bualan korban. Pernyataan ini membuat Kimmel seperti menelan ludahnya sendiri. Sedikit berbeda dengan Kimmel, Ravi Karkara tidak terdengar pernyataannya di media menyusul tuduhan pelecehan seksual terhadapnya menyeruak ke publik.
Michael Flood seorang akademisi dari Australia dan Ambassador White Ribbon Australia, menulis catatan sebagai respon cepat terhadap kasus Kimmel. Tulisan itu berupaya menjernihkan terkait sikap apa yang harus diambil ketika seorang aktifis laki-laki yang mengaku pro-feminis menerima tuduhan melakukan kekerasan seksual, alih-alih menuduh rumor, Flood menyarankan mereka yang dituduh melakukan kekerasan seksual untuk:

  1. Mendengar, memperhatikan secara serius perasaan mereka yang mengalami pelecehan seksual dan hindari pengingkaran, meremehkan dan apalagi menyalahkan korban.
  2. Mengikuti proses hukum yang berlaku secara jujur dan supportif. Bersikap terbuka terhadap kemungkinan melakukan tindakan yang tidak pantas dan melecehkan terhadap orang lain.
  3. Melihat secara serius, secara dekat, hati-hati dan kritis terhadap perilaku sendiri. Menunjukkan kekerasan yang sudah dilakukan dan akibat yang ditimbulkan dari tindakan kekerasan tersebut.
  4. Mengambil tanggunjawab terhadap tindakan yang dilakukan dengan mencari pertolongan atau bantuan baik formal maun nonformal dan melakukan pembelajaran praktik berelasi yang setara.

Flood juga menyarankan apa yang sebaiknya dilakukan oleh sahabat atau kolega laki-laki pro-feminist yang dituduh melakukan kekerasan seksual. Hal yang patut dilakukan diantaranya untuk menghindari sikap membela bahwa laki-laki itu tidak bersalah sebaliknya sebagai teman, sebaiknya ikut ambil bagian mendorong laki-laki tersebut mengambil tanggungjawab atas perbuatnnya serta terlibat mendorong untuk mengikuti proses-proses hukum serta mendorong perubahan. Secara lengkap tulisan Michael Flood dapat dibaca di dalam tautan berikut.
Sejalan dengan Flood, Promundo, organisasi non pemerintah yang berbasis di Brazil yang giat mempromosikan pelibatan laki-laki di dunia, membuat pernyataan resmi bahwa Michael Kimmel Sebagai salah satu Board Member Promundo telah mundur dari jabatannya. Promundo juga menegaskan posisinya yang berdiri di pihak korban dan mendorong Michael Kimmel untuk dapat mengambil tanggungjawab atas apa yang disangkakan.
Tulisan Michael Flood sebagai laki-laki pro-feminist sangat penting dan merupakan wujud tanggungjawab untuk memastikan semua laki-laki yang terlibat dalam kerja-kerja keadilan gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dapat mempertanggunjawabkan sikap dan perilakunya kepada perempuan, kelompok perempuan, aktivis perempuan. Pernyataan Promundo juga sangat penting untuk pertanggungjawaban kelembagaan serta semua individu laki-laki di dalamnya. Namun begitu, kasus Kimmel dan Ravi Karkara meruntuhkan kerja-kerja pelibatan laki-laki yng telah dibangun sekian tahun dan sepertinya memutarkan kembali pertanyaan kritis apakah laki-laki dapat dipercaya untuk menjadi sekutu gerakan perempuan?
Saya menjadi ingat pada sebuah buku yang pernah saya baca yang pada saat saya menulis tulisan ini saya cari kembali namun belum dapat saya temukan, buku itu mengatakan bahwa bagi perempuan memperjuangkan keadilan gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan adalah masalah hidup mati perempuan, sementara bagi laki-laki memperjuangkan keadilan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan adalah pilihan. Artinya laki-laki dapat memilih pilihan lain termasuk memilih untuk kembali menikmati privilese dan kekuasaan yang diberikan patriarkhi kepada mereka. Terkait hal ini saya sering menyatakan bahwa ada kemungkinan relapse atau kambuh di kalangan laki-laki untuk kembali menjadi pendukung patriakhi karena diakui atau tidak patriarchy itu seperti candu bagi laki-laki.
Saya juga ingat pernyataan Raewyn Connel, yang mengingatkan bahwa umumnya perempuan adalah kelompok yang menuntut perubahan terhadap sistem yang tidak adil sementara sebaliknya laki-laki adalah kelompok yang mempertahankan sistem patriarchy karena laki-laki menikmati apa yang disebut dengan deviden patriarchy yang berupa keuntungan-keuntungan material maupun non material.
Sejalan dengan Connel dan buku yang saya sebutkan, saya berpandangan bahwa dalam struktur masyarakat yang patriarkahis, bahkan laki-laki yang mendeklarasikan dirinya pro-feminis, laki-laki feminis, pro-perempuan atau apapun namanya tidak serta merta berhenti menikmati privilese dan kekuasaan yang diberikan masyarakat. Mereka tetap menikmatinya disadari atau tidak karena seperti Bob Pease katakan dalam buku Undoing Privilege bahwa privilese dan kekuasaan laki-laki dalam sistem patriarkhi itu telah melembaga dan dinikmati oleh semua laki-laki, baik mereka yang mempertahankannya dari serangan gerakan perempuan maupun mereka yang diam saja bahkan mereka yang mengklaim dirinya pro-feminis.
Dengan demikian menjadi laki-laki pro-feminis dalam struktur masyarakat patriarkhis adalah hal yang tidak sederhana, banyak prasyarat dan juga banyak jebakannya. Pro-feminis tidak saja terkait dengan pikiran yang ungkapkan, sikap dan perilaku yang tampak akan tetapi juga pikiran yang tersembunyi, sikap dan perilaku yang tidak tampak. Butuh mekanisme rumit dan ketat untuk menilai kadar kesadaran feminis laki-laki, butuh evaluasi sepanjang hayat laki-laki untuk dapat disebut feminis karenanya menurut saya seorang laki-laki dapat disebut feminis ketika ia dapat menghidupkan nilai dan prinsip feminisme hingga di ujung hayatnya. Jadi Wahai Laki-Laki yang mengklaim pro-feminist seberapa jauh jalan feminis yang dapat engkau tempuh? Dirgahayu Aliansi Laki-Laki Baru.

About Nur Hasyim

peminat kajian maskulinitas, trainer dan fasilitator tentang gender, maskulinitas dan kekerasan serta ayah dari dua anak perempuan. Saat ini menjadi pengajar di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *