Perempuan dalam Pilkada DKI

Tanggal 11 Juli mendatang akan menjadi peristiwa penting bagi warga Jakarta karena mereka akan terlibat langsung dalam proses politik untuk memilih pemimpin Jakarta untuk periode lima tahun yang akan datang. Yang menarik untuk disimak dari Pilkada DKI adalah tidak ada satupun calon baik gubernur maupun wakil gubernur yang berjenis kelamin perempuan. Artinya tidak ada representasi perempuan dalam Pilkada DKI.
Represetasi perempuan menjadi penting, mengingat perempuan adalah hampir separuh dari jumlah pemilih di DKI Jakarta. Sebagaimana tercatat dalam daftar pemilih yang dikeluarkan oleh KPUD DKI Jakarta bahwa pemilih perempuan mencapai 3.428.507 atau separuh kurang sedikit dari total pemilih yang mencapai 6.982.179 pemilih. Jumlah pemilih perempuan tersebut menunjukkan bahwa perempuan adalah kelompok penting dalam proses politik pilkada DKI. Meskipun demikian sebagai kelompok besar dan berkepentingan atas proses politik pilkada, kelompok perempuan terancam tidak terwakili kepentinganya karena selain tak terepresentasi, agenda-agenda yang ditawarkan oleh calon gubernur didominasi oleh program yang memiliki kesan gagah dan maskulin sebutlah agenda penanganan banjir dan reformasi sistem transportasi Jakarta (kemacetan salah satu masalahnya) yang keduanya menjadi “jualan” hampir seluruh calon gubernur DKI. Maka tidak terlalu berlebihan jika pemilu Jakarta dapat disebut sabagai pemilunya laki-laki sementara perempuan terancam akan menjadi penonton dalam pilkada DKI jika tidak ada langkah-langkah strategis yang diambil oleh kelompok perempuan sendiri.
Kesan maskulin atas prioritas agenda politik calon gubernur DKI juga dapat dikenali pada arah kebijakan dan program yang ditawarkan. Semua calon gubernur memiliki orientasi kepada kebijakan dan pembangunan yang bersifat fisik dari pada pembangunan manusia. Misalnya dalam hal mengatasi banjir, pembangunan sumur resapan, pembangunan biopori, pembangunan situ, pembangunan infrastruktur pengendali banjir adalah program yang dipilih ketimbang program yang berorientasi kepada pembangunan kesadaran yang terkait dengan sikap dan perilaku masyarakat terhadap pengelolaan resiko bencana banjir.
Demikian halnya dengan program reformasi sistem transportasi Jakarta, para calon gubernur lebih tertarik kepada program peremajaan alat transportasi, penambahan armada, pembangunanan sarana transportasi baru seperti pembangunan koridor baru busway, dan sebagainya daripada penciptaan sistem transportasi yang aman khususnya bagi perempuan dari tindak kekerasan padahal persoalan itu juga begitu nyata.
Pilihan-pilihan prioritas para calon gubernur tidak dapat dilepaskan dari perspektif yang mereka miliki. Pengabaian terhadap program-program yang berorientasi kepada kepentingan perempuan disebabkan oleh karena tidak cukup kuatnya kepekaan para calon terhadap isu perempuan.  Terbukti dengan diabaikannya isu-isu yang lekat dengan perempuan seperti kematian ibu dan bayi, perlunya ruang laktasi di tempat publik dan perkantoran, angka buta huruf perempuan, tingkat representasi perempuan baik di eksekutif, legislatif, yudikatif serta sektor swasta.
Persoalan-persoalan perempuan sebagaimana telah diuraikan bukan berarti sudah selesai untuk kota Jakarta akan tetapi karena persoalan tersebut tidak dianggap penting oleh para calon gubernur. Sebut saja angka kematian ibu dan bayi di Jakarta masih tinggi yakni 8,20 per 1000 kelahiran pada tahun 2010 (www.jakarta.go.id). Meskipun angka ini dibawah angka rata-rata nasional akan tetapi satu kematian saja adalah sudah sangat banyak. Selain itu angka buta huruf perempuan juga masih menjadi persoalan perempuan, data tahun 2008 menunjukkan bahwa angka buta huruf perempuan di DKI Jakarta 1,91 persen, lebih tinggi jika dibandingkan dengan laki-laki yang hanya 0,46 persen (BPS Propinsi DKI). Persoalan tingkat representasi  perempuan dalam berbagai institusi pemerintah maupun swasta serta perlindungan perempuan dari tindak kekerasan terutama kekerasan seksual di tempat umum seperti transportasi publik dan tempat umum lainnya juga masalah yang masih dihadapi perempuan di Jakarta.
Ketika berbagai persoalan perempuan sebagaimana diuraikan masih menjadi persoalan perempuan di Jakarta dan kenyataan menunjukkan bahwa para calon gubernur DKI Jakarta tidak cukup menjadikan kepentingan perempuan sebagai prioritas maka apa yang harus dilakukan oleh perempuan yang memiliki suara yang nyaris separuh dari pemilih di Jakarta? Apakah kelompok perempuan akan berharap kepada kebaikan hati para calon gubernur yang laki laki itu, atau kelompok perempuan memilih melakukan upaya terorganisasi mengusung agenda perempuan sebagai tawar menawar politik dengan para calon gubernur.
Jika menilik perkembangan politik yang terjadi menjelang Pilkada DKI, nyaris tak terdengar kelompok perempuan menyuarakan persoalan ini dan secara sengaja menjadikan kepentingan perempuan sebagai tawar menawar politik dengan para calon gubernur. Padahal sebagaimana diurai pada awal tulisan ini bahwa modal politik perempuan sangat besar dan kelompok perempuan menjadi penentu kemenangan calon gubernur karena suara kelompok laki-laki yang jumlahnya hanya lebih sedikit dari jumlah perempuan jelas akan menjadi rebutan kelima calon gubernur.
Dengan demikian kelompok perempuan akan menjadi kelompok strategis dan memiliki posisi tawar yang kuat dengan para calon gubernur yang memungkinkan perempuan menjadikan kepentingan perempuan sebagai substansi tawar menawar dengan para calon gubernur. Artinya para calon gubernur DKI tidak akan mendapatkan suara perempuan secara gratis akan tetapi mereka harus menjadikan kepentingan perempuan sebagai prioritas agenda politik mereka.  Akhirnya, perempuan meskipun tidak mengusung calon perempuan, kelompok perempuan tidak lantas hanya menjadi penonton akan tetapi mengambil peran politik untuk memperjuangkan kepentingannya yang memang niscaya diperjuangkan secara politis.

About Nur Hasyim

peminat kajian maskulinitas, trainer dan fasilitator tentang gender, maskulinitas dan kekerasan serta ayah dari dua anak perempuan. Saat ini menjadi pengajar di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *