Ketika Laki-laki Merayakan Hari Perempuan

“Keberdayaan perempuan juga memberi manfaat kepada laki-laki. Ketika laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan dan hak yang setara, maka masyarakat akan sejahtera”
Kutipan di atas adalah pernyataan sekretaris jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk kampanye #HeforShe yang diluncurkan oleh badan dunia tersebut bersamaan dengan perayaan hari perempuan internasional tahun 2014 yang dirayakan pada tanggal 8 Maret lalu. Ban Ki-moon bersama pemimpin laki-laki dunia lainnya seperti Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, dan Presiden Parlemen Uni Eropa, Martin Schulz, membuat pernyataan khusus yang kemudian di rilis oleh UN Women, badan PBB yang membidangi isu perempuan, melalui berbagai akun social media. Shinzo Abe misalnya menyatakan; “Jepang harus menjadi tempat perempuan untuk bersinar, pada tahun 2020 kami menargetkan 30 persen perempuan menduduki posisi penting di Jepang”
Partisipasi para pemimpin laki-laki dalam upaya memajukan status dan kedudukan perempuan ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh gerakan global laki-laki untuk pencapaian keadilan gender. Gerakan ini muncul pertama kali pada tahun 1970an di Inggris dan Amerika, ketika sekelompok laki-laki mengorganisir diri dengan membentuk kelompok yang kemudian dikenal sebagai consciousness raising group yang mulai mempertanyakan gagasan arus utama tentang kelelakian (baca: maskulinitas). Kelompok ini juga mulai membincang proses konstruksi kelelakian dan pengaruhnya terhadap kehidupan personal mereka sebagai laki-laki. Kemunculan kelompok-kelompok ini di Eropa dan Amerika merupakan dampak dari  gerakan feminism di kawasan tersebut. Michael Flood, sosiolog Australia menyebutkan gerakan laki-laki pro feminist ini menguat pada tahun 1990an yang ditandai dengan menjamurnya jaringan laki-laki global seperti White Ribbon Campaign yang hingga saat ini jaringannya telah menyebar di 5 benua, Men Against Sexisme (Laki-laki Melawan Sexisme) di Amerika, the Asociacion de Hombres contra la violencia (Laki- Laki anti Kekerasan) di Nikaragua, Men Against Sexual Assault (Laki-Laki Anti Kekerasan Seksual) di Australia dan belum lama ini di Indonesia muncul jaringan serupa yang bernama Aliansi Laki-Laki Baru.
Komitmen PBB mendorong keterlibatan laki-laki ini tidak dapat dilepaskan oleh pengaruh kelompok-kelompok masyarakat sipil tersebut. Dan jika dilacak komitmen PBB untuk mendorong laki-laki berpartisipasi dalam upaya pencapaian keadilan gender muncul pertama kali pada tahun 1975 pada saat berlangsungnya konferensi dunia tentang perempuan di Mexico. Konferensi tersebut menyimpulkan bahwa untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi perempuan diperlukan strategi politik untuk mengubah relasi gender dengan memobilisasi laki-laki. Kesimpulan ini dikuatkan pada konferensi PBB tentang perempuan pada masa-masa berikutnya termasuk konferensi perempuan di Beijing pada tahun 1995.
Fenomena laki-laki ramai-ramai mendukung perempuan tersebut tidak dipungkiri menandai kecenderungan baru dari perjuangan pencapaian keadilan gender, namun fenomena tersebut juga membawa kekhawatiran baru, apakah keterlibatan laki-laki yang mewujud dalam bentuk komitmen pemimpin laki-laki dunia dan juga menjamurnya kelompok-kelompok laki-laki pendukung perjuang perempuan akan benar-benar dapat membongkar akar persoalan ketidakadilan yang dialami perempuan?
Komitmen para pemimpin laki-laki sebagaimana diurai di awal tulisan ini sudah pasti sangat strategis, karena posisinya memungkinkan untuk lahirnya kebijakan yang mendukung pemajuan status perempuan di segala bidang seperti pendidikan, ekonomi, dan politik. Dengan kebijakan yang pro perempuan memungkinkan terjadinya mobilisasi sumberdaya yang berfungsi mempercepat proses pencapaian keadilan bagi perempuan. Selain itu, sikap politik pemimpin laki-laki yang ditunjukkan dengan sikap oposisi dan penolakan terhadap bentuk penindasan perempuan akan menciptakan norma sosial baru yang akan meluruskan pandangan yang keliru bahwa mayoritas laki-laki menyetujui sikap perendahan perempuan.  Norma sosial baru ini menjadi faktor penting untuk tumbuhnya laki-laki sebagai sekutu perempuan dalam menciptakan keadilan social.
Akan tetapi komitmen para pemimpin laki-laki dan keterlibatan laki-laki secara umum juga berpotensi menghadirkan hambatan bagai pencapaian agenda feminisme . Alih-alih untuk mendorong keberdayaan perempuan, kehadiran laki-laki, seperti yang pernah disinyalir Siti Ruhaini Dzuhayatin (2011) laki-laki dapat meneguhkan anggapan bahwa perempuan memang tidak mampu memperjuangkan kepentingan mereka sendiri sehingga memerlukan bantuan laki-laki. Dengan demikian, kehadiran laki-laki  melestarikan pandangan superioritas laki-laki atas perempuan yang oleh feminisme ditengarai sebagai fondasi ketertindasan perempuan.
Bob Pease (2008), pengajar pada Deakin University Australia, menengarai bahwa kebijakan yang mendorong keterlibatan laki-laki dalam pencapaian keadilan gender juga berpotensi mengalihkan sumberdaya yang selama ini dialokasikan untuk upaya-upaya pemberdayaan perempuan. Klaim ini berdasarkan analisisnya terhadap kebijakan “Men’s Program” untuk pencegahan kekerasan dalam keluarga di Australia. Padahal selama ini sumberdaya untuk perempuan sudah demikian terbatas. Ketika terjadi pengalihan sumberdaya, keterlibatan laki-laki akan kembali membatasi akses perempuan terhadap sumberdaya sehingga kontrapoduktif dengan agenda perjuangan feminism yang salah satunya berupaya membuka akses perempuan seluas-luasnya terhadap sumber daya.
Kehadiran laki-laki dalam upaya mendorong keadilan gender juga berpotensi menciptakan privilege (perlakuan istimewa) baru bagi laki-laki yang pada dasarnya sudah menikmati banyak perlakuan istimewa dari masyarakat patriarkhis. Misalnya, laki-laki akan lebih mengundang perhatian media sehingga mereka akan mendapatkan liputan yang lebih dibandingkan dengan perempuan. Laki-laki akan mendapatkan penghargaan yang lebih atas upaya mereka dalam memajukan keadilan gender meskipun upaya mereka sangat kecil jika dibandingkan dengan upaya-upaya yang sudah dilakukan oleh perempuan sendiri.
Dengan demikian keterlibatan laki-laki memungkinkan munculnya masalah ideologis dan praktis sekaligus. Masalah ideologis ini terkait dengan bagaimana meletakkan posisi laki-laki dalam gerakan feminism yang di kalangan feminist masih menjadi perdebatan. Sedangkan masalah praktis terkait dengan pilihan-pilihan strategies yang mampu secara tepat menerjemahkan mimpi-mimpi feminism dan tidak sebaliknya justru bertentangan dengan agenda feminism. Dalam konteks inilah mengapa perlu meletakkan seluruh upaya mendorong keterlibatan laki-laki dalam upaya menciptakan keadilan gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dalam bingkai gerakan feminisme.

About Nur Hasyim

peminat kajian maskulinitas, trainer dan fasilitator tentang gender, maskulinitas dan kekerasan serta ayah dari dua anak perempuan. Saat ini menjadi pengajar di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *